IMAM GHOZALI FIGUR YANG MENGHIDUPKAN
ILMU-ILMU AGAMA
Bagian I
Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Gelarnya adalah Hujjatul Islam Zainudin Ath-Thusi. Ketika kaum muslimin tengah di landa keraguan dan saling curiga ,pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1057 M di desa Ghazalah kota Thus, Iran,lahirnya seorang anak yang dikemudian hari akan tumbuh menjadi seorang iman besar yang dapat menautkan kembali segala perpecahan diantara umat Islam dan mempersatukan mereka. Dialah Al-Ghazali.
Seorang hamba pilihan yang merupakan salah satu bagian dari kebajikan yang di hamparkan Allah SWT di muka bumi ini. Ia ibarat sebuah pelita yang menerangi dunia islam yang saat itu mulai pudar. Dengan semakin berkembangnya cara berpikir manusia, umat islam menjadi terpecah belah dan dalam agama islam berkembang berbagai macam aliran. Melalui Imam Ghazali Allah SWT menyatukan lagi umat islam dalam satu wadah kepercayaan mutlak terhadap sang Maha Pencipta.
Beliau mendapat nama sebutan Al-Ghazali sesuai dengan nama tempat kelahirannya yaitu Ghazalah. Ia lahir di tengah keluarga yang taat beragama. Ayahnya seorang shalih dan senang bersedekah. Ia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di toko.
Ketika merasakan ajalnya telah dekat. Ia menitipkan kedua anaknya al-Ghazali dan adiknya, Ahmad kepada sahabat karibnya, seorang sufi yang dermawan. Ia berkata kepada sahabat karibnya, “saya sungguh menyesal sekali atas banyaknya ilmu yang belum aku pelajari. Oleh karena itu aku ingin kedua anakku memperoleh apa yang dulu tidak kudapatkan. Jadi ajarilah mereka dan engkau boleh menggunakan semua peninggalanku untuk mereka.”
”Ketika ia meninggal dunia, sahabat karibnya mulai mengajari kedua anaknya dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya habislah peninggalan orang tua kedua anak itu yang memang dikit jumlahnya. Dan ia kesulitan untuk membiayai mereka atau memberikan kebutuhan makan mereka, “ Ketahuilah, aku telah menafkahkan untuk kalian apa yang telah menjadi milik kalian. Oleh karena itu, masuklah kesebuah madrasah karena kalian termasuk para penuntut ilmu. Dengan cara itu kalian akan meperoleh bekal yang dapat mencukupi kebutuhan kalian”.
Mereka berdua menuruti nasehat itu dan masuklah mereka di madrasah yang memang menyediakan beasiswa bagi para penuntut ilmu yang tidak mampu. Atas hal itu Al-Ghazali menuturkan,” Kami pernah mencari ilmu tidak karena Allah, tetapi ilmu itu malah mendorong kami untuk belajar karena Allah”.
Ayah Al-Ghazali sering menemui para ulama dan berkumpul bersama mereka berkhidmad dan memberikan infaq kepada mereka semampunya. Apabila ia mendengar ucapan mereka ia menangis dan menunduk. Ia memohon kepada Allah agar di beri anak yang sholeh dan menjadi alim seperti mereka. Akhirnya Allah mengabulkan doanya . Kedua anaknya menjadi ulama yang shalih yang mengamalkan amalnya dengan istiqomah. Al-Ghazali terkenal paling cerdas di antara kawan-kawannya dan pemuka para ulama sezamannya. Sementara adiknya yang Ahmad adalah seoarang penceramah yang ikhlas. Bebatuan seakan menjadi lunak ketika mendengar peringatannya dan para hadirin pun khusyu’ dan menangis di majelis dzikirnya.
Mencari Ilmu dan Dakwah
Pada masa kecilnya Al-Ghazali belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzkani, seorang ulama besar di dusun kelahirannya. Pada masa-masa belajarnya itu ia pergunakan waktu dengan sebaik-baiknya, berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai semua materi pelajarannya, ia mencatat semua ucapan gurunya.
Kemudian setelah ia menguasai banyak ilmu dari gurunya, ia pergi ke Jurjan untuk belajar kepada ulama besar yang bernama Abu Nashr Ismail. Lalu ia melanjutkan pengembaraannya ke Naisabur. Di situ ia mempelajari banyak cabang ilmu dari seorang ulama tersohor dengan julukan Imam Al-Haramain yaitu Abdul Ma’ali Al-Juwaini. Ia belajar dengan sungguh –sungguh hingga menguasai seluk beluk madzhab, Ikhtilaf, perdebatan dan logika. Di sana dia juga belajar tasawwuf kepada Syaikh Abu Ali Al Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali Farmadi. Ia pun mempelajari mantik dan filsafat serta menguasai pendapat para pakar dalam bidang ilmu-ilmu tersebut, sehingga ia dapat menentang dan menyanggah pendapat-pendapat mereka yang mempengaruhi masyarakat Islam.
Keutamaan dan Karamah
Pada suatu hari ketika ia keluar dengan tujuan memperdalam ilmu agamanya pada seorang ulama di luar jam pelajaran, tiba-tiba muncullah beberapa perampok bersenjata tajam menghentikan langkah Al-Ghazali. Dengan kasar salah seorang perampok merebut bungkusan yang di bawa Al-Ghazali. Maka berhamburkanlah isi bungkusan tersebut yang tak lain adalah kitab-kitab pelajaran dan buku-buku catatannya. Para perampok itu heran, mereka mengira bungkusan tersebut berisi uang dan pakaian.
“Hai anak muda, hanya inikah kepunyaanmu? ”Tanya kepala perampok. “Bagaimana menurutmu seandainya semua buku pelajaranmu ini ku ambil? maka sudah pasti kamu menjadi orang bodoh. Karena kamu masih mengandalkan buku dan catatan. Pelajaran seharusnya di simpan di kepala bukan di dalam buku,” lanjutnya. Kemudian para perampok itu pergi meninggalkan Al-Ghazali yang sedang memunguti
kitab-kitab dan buku catatannya sambil merenungi cemoohan kepala perampok tersebut. Ia sadar bahwa selama ini ia lebih mengandalkan buku dan catatan dari pada hafalan. Semua ucapan perampok tersebut yang nadanya mencemooh bagi Al-Ghazali justru merupakan nasehat penting dan hikmah serta berkah yang tak ternilai harganya.
Sejak peristiwa itu Al-Ghazali semakin rajin menghafal. Satu persatu pelajaran yang asalnya merupakan tulisan kini telah pindah dan tertanam dalam otak dan hati sanubari Al-Ghazali.
Di Naisabur intelektualitas Al-Ghazali mulai bersinar ia tidak hanya berguru, tapi juga mulai mengajar dan aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus. Setelah gurunya imam Al Haramain wafat, ia meninggalkan Naisabur menuju Al-Askar dan bertemu dengan perdana menteri Nidzham Al-Malik. Disitu ia sering berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka di dalam majelis. Mereka mengagumi pendapat-pendapatnya dan mengakui keutamaannya. Para ulama selalu menyambutnya dengan ta’dzhim. Pada tahun 484 H/1068 M, ia dipercaya untuk mengajar di perguruan tinggi An-Nidzhomiyah di Baghdad. Inilah yang mengantarkannya kepada kedudukan mulia. Ia didatangi banyak orang di majelisnya, didengar ucapannya, dan dihormati, sehingga ia dapat mengalahkan kemuliaan para pemimpin dan perdana menteri.
Semua orang ta’jub akan keindahan tutur katanya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya dan keakuratan isyaratnya. Ia mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran, pemberian fatwa, dan menulis. Ia memiliki kedudukan mulia dan menduduki posisi yang tinggi, sehingga dikatakan bahwa majelis Imam Al-Ghazali konon dihadiri 300 ulama besar.
Ucapannya didengar dimana-mana, ia terkenal namanya. Ia menjadi teladan dan mereka mencintainya. Namun Al-Ghazali mengabaikan semua penghormatan itu karena khawatir dirinya tidak ikhlas karena Allah. Ia merasakan kegelisahan didalam jiwanya. Kesenangan hidup yang melimpah malah membuatnya sakit, dirinya terombang –ambing mencari kebenaran yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi. Guncangan jiwa itu dimulai ketika nalarnya bertanya-tanya, apakah sebenarnya ilmu yang hakiki itu, apakah dapat dicapai dengan panca indra atau dengan akal? Untuk mengedepankan gejolak hatinya, Al-Ghazali sempat menghentikan seluruh aktifitasnya. Sampai akhirnya cahaya Allah menerangi hati, jiwa dan raganya, sehingga ia mampu keluar dari keraguan. Tasawuf itulah jalan baru yang dianggapnya tepat untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mengusik hatinya seperti yang ditulis pada kitabnya Ihya Ulumuddin.
Perjalanan Spiritual
Kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan segala kemewaham dan ketenarannya menuju Damaskus, Syiria, untuk menemukan ketenangan dan kesejatian hidup. Ia menjalani kehidupan zuhud, riyadhat, mujahadah, membersihkan diri dan menyucikan hati dengan dzikir kepada Allah SWT. Ia ber’itikaf memperbanyak ibadah di menara masjid Umawi. Tak lama kemudian ia hijrah ke Palestina sengaja hendak berkhalwat di Qubbatus Sakhrah. Bermunajat kepada Allah SWT, semua pintu kubah dikunci hingga tak ada satupun dapat mengganggunya. Kemudian ia berziarah ke Makam Nabi Ibrahim AS lalu menuju Hijaz untuk beribadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW.
Selama di perjalanan itu, dirinya lebih menjauhi dunia, memakai pakaian seadanya, sedikit makan dan minum, memerangi hawa nafsunya, bermujahadah seperti yang dilakukan orang shalih terdahulu dan memperbanyak barbagai macam ibadah dan ketaatan. Ditengah-tengah itu ia mengarang kitab Ihya Ulumuddin sebagai hasil dari perenungannya, mujahadahnya dan berdzikirnya kepada Allah SWT. setelah itu ia pergi ke Iskandariyah, Mesir. Tidak lama kemudian ia diminta kembali memimpin perguruan An –Nidzomiyyah. Maka kembalilah ia ke Baghdad.Namun karena hatinya sudah penuh kecintaan kepada Allah dan menjauhi dunia, ia tidak betah tinggal lama di kota yang penuh gemerlap itu. Kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah sebagai lembaga untuk memperdalam ilmu agama khususnya tasawwuf. Ia membagi waktunya untuk menghatamkan Al-Quran, berdiskusi dengan ulama lain, memberi nasehat dan petunjuk pada orang lain sambil terus bermujahadah melaksanakan sholat sunnah, puasa dan ibadah lainya.
Wafatnya Imam Ghazali
Beliau wafat di kota Thus pada hari Senin, pada Jumadil Akhir 505 H/1111 M, pada usia 55 tahun. Abu Al-Faraj Al-Jauzi dalam kitabnya Ats-Tsabat’indal mamat, mengatakan bahwa adik Imam Al-Ghazali, Ahmad berkata, “ pada hari Senin subuh kakakku Al-Ghazali berwudhu dan sholat ,lalu berkata, ambilkan untukku kain kafan. Ia berkata “Aku mendengar dan aku taat untuk menemui Al-Malik.” Kemudian ia menjulurkan kakinya dan menghadap qiblat. Tak lama ia meninggal dunia menjelang matahari terbenam. Semoga Allah SWT menyucikan ruh beliau dan Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Gelarnya adalah Hujjatul Islam Zainudin Ath-Thusi. Ketika kaum muslimin tengah di landa keraguan dan saling curiga ,pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1057 M di desa Ghazalah kota Thus, Iran,lahirnya seorang anak yang dikemudian hari akan tumbuh menjadi seorang iman besar yang dapat menautkan kembali segala perpecahan diantara umat Islam dan mempersatukan mereka. Dialah Al-Ghazali.
Seorang hamba pilihan yang merupakan salah satu bagian dari kebajikan yang di hamparkan Allah SWT di muka bumi ini. Ia ibarat sebuah pelita yang menerangi dunia islam yang saat itu mulai pudar. Dengan semakin berkembangnya cara berpikir manusia, umat islam menjadi terpecah belah dan dalam agama islam berkembang berbagai macam aliran. Melalui Imam Ghazali Allah SWT menyatukan lagi umat islam dalam satu wadah kepercayaan mutlak terhadap sang Maha Pencipta.
Beliau mendapat nama sebutan Al-Ghazali sesuai dengan nama tempat kelahirannya yaitu Ghazalah. Ia lahir di tengah keluarga yang taat beragama. Ayahnya seorang shalih dan senang bersedekah. Ia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di toko.
Ketika merasakan ajalnya telah dekat. Ia menitipkan kedua anaknya al-Ghazali dan adiknya, Ahmad kepada sahabat karibnya, seorang sufi yang dermawan. Ia berkata kepada sahabat karibnya, “saya sungguh menyesal sekali atas banyaknya ilmu yang belum aku pelajari. Oleh karena itu aku ingin kedua anakku memperoleh apa yang dulu tidak kudapatkan. Jadi ajarilah mereka dan engkau boleh menggunakan semua peninggalanku untuk mereka.”
”Ketika ia meninggal dunia, sahabat karibnya mulai mengajari kedua anaknya dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya habislah peninggalan orang tua kedua anak itu yang memang dikit jumlahnya. Dan ia kesulitan untuk membiayai mereka atau memberikan kebutuhan makan mereka, “ Ketahuilah, aku telah menafkahkan untuk kalian apa yang telah menjadi milik kalian. Oleh karena itu, masuklah kesebuah madrasah karena kalian termasuk para penuntut ilmu. Dengan cara itu kalian akan meperoleh bekal yang dapat mencukupi kebutuhan kalian”.
Mereka berdua menuruti nasehat itu dan masuklah mereka di madrasah yang memang menyediakan beasiswa bagi para penuntut ilmu yang tidak mampu. Atas hal itu Al-Ghazali menuturkan,” Kami pernah mencari ilmu tidak karena Allah, tetapi ilmu itu malah mendorong kami untuk belajar karena Allah”.
Ayah Al-Ghazali sering menemui para ulama dan berkumpul bersama mereka berkhidmad dan memberikan infaq kepada mereka semampunya. Apabila ia mendengar ucapan mereka ia menangis dan menunduk. Ia memohon kepada Allah agar di beri anak yang sholeh dan menjadi alim seperti mereka. Akhirnya Allah mengabulkan doanya . Kedua anaknya menjadi ulama yang shalih yang mengamalkan amalnya dengan istiqomah. Al-Ghazali terkenal paling cerdas di antara kawan-kawannya dan pemuka para ulama sezamannya. Sementara adiknya yang Ahmad adalah seoarang penceramah yang ikhlas. Bebatuan seakan menjadi lunak ketika mendengar peringatannya dan para hadirin pun khusyu’ dan menangis di majelis dzikirnya.
Mencari Ilmu dan Dakwah
Pada masa kecilnya Al-Ghazali belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzkani, seorang ulama besar di dusun kelahirannya. Pada masa-masa belajarnya itu ia pergunakan waktu dengan sebaik-baiknya, berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai semua materi pelajarannya, ia mencatat semua ucapan gurunya.
Kemudian setelah ia menguasai banyak ilmu dari gurunya, ia pergi ke Jurjan untuk belajar kepada ulama besar yang bernama Abu Nashr Ismail. Lalu ia melanjutkan pengembaraannya ke Naisabur. Di situ ia mempelajari banyak cabang ilmu dari seorang ulama tersohor dengan julukan Imam Al-Haramain yaitu Abdul Ma’ali Al-Juwaini. Ia belajar dengan sungguh –sungguh hingga menguasai seluk beluk madzhab, Ikhtilaf, perdebatan dan logika. Di sana dia juga belajar tasawwuf kepada Syaikh Abu Ali Al Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali Farmadi. Ia pun mempelajari mantik dan filsafat serta menguasai pendapat para pakar dalam bidang ilmu-ilmu tersebut, sehingga ia dapat menentang dan menyanggah pendapat-pendapat mereka yang mempengaruhi masyarakat Islam.
Keutamaan dan Karamah
Pada suatu hari ketika ia keluar dengan tujuan memperdalam ilmu agamanya pada seorang ulama di luar jam pelajaran, tiba-tiba muncullah beberapa perampok bersenjata tajam menghentikan langkah Al-Ghazali. Dengan kasar salah seorang perampok merebut bungkusan yang di bawa Al-Ghazali. Maka berhamburkanlah isi bungkusan tersebut yang tak lain adalah kitab-kitab pelajaran dan buku-buku catatannya. Para perampok itu heran, mereka mengira bungkusan tersebut berisi uang dan pakaian.
“Hai anak muda, hanya inikah kepunyaanmu? ”Tanya kepala perampok. “Bagaimana menurutmu seandainya semua buku pelajaranmu ini ku ambil? maka sudah pasti kamu menjadi orang bodoh. Karena kamu masih mengandalkan buku dan catatan. Pelajaran seharusnya di simpan di kepala bukan di dalam buku,” lanjutnya. Kemudian para perampok itu pergi meninggalkan Al-Ghazali yang sedang memunguti
kitab-kitab dan buku catatannya sambil merenungi cemoohan kepala perampok tersebut. Ia sadar bahwa selama ini ia lebih mengandalkan buku dan catatan dari pada hafalan. Semua ucapan perampok tersebut yang nadanya mencemooh bagi Al-Ghazali justru merupakan nasehat penting dan hikmah serta berkah yang tak ternilai harganya.
Sejak peristiwa itu Al-Ghazali semakin rajin menghafal. Satu persatu pelajaran yang asalnya merupakan tulisan kini telah pindah dan tertanam dalam otak dan hati sanubari Al-Ghazali.
Di Naisabur intelektualitas Al-Ghazali mulai bersinar ia tidak hanya berguru, tapi juga mulai mengajar dan aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus. Setelah gurunya imam Al Haramain wafat, ia meninggalkan Naisabur menuju Al-Askar dan bertemu dengan perdana menteri Nidzham Al-Malik. Disitu ia sering berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka di dalam majelis. Mereka mengagumi pendapat-pendapatnya dan mengakui keutamaannya. Para ulama selalu menyambutnya dengan ta’dzhim. Pada tahun 484 H/1068 M, ia dipercaya untuk mengajar di perguruan tinggi An-Nidzhomiyah di Baghdad. Inilah yang mengantarkannya kepada kedudukan mulia. Ia didatangi banyak orang di majelisnya, didengar ucapannya, dan dihormati, sehingga ia dapat mengalahkan kemuliaan para pemimpin dan perdana menteri.
Semua orang ta’jub akan keindahan tutur katanya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya dan keakuratan isyaratnya. Ia mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran, pemberian fatwa, dan menulis. Ia memiliki kedudukan mulia dan menduduki posisi yang tinggi, sehingga dikatakan bahwa majelis Imam Al-Ghazali konon dihadiri 300 ulama besar.
Ucapannya didengar dimana-mana, ia terkenal namanya. Ia menjadi teladan dan mereka mencintainya. Namun Al-Ghazali mengabaikan semua penghormatan itu karena khawatir dirinya tidak ikhlas karena Allah. Ia merasakan kegelisahan didalam jiwanya. Kesenangan hidup yang melimpah malah membuatnya sakit, dirinya terombang –ambing mencari kebenaran yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi. Guncangan jiwa itu dimulai ketika nalarnya bertanya-tanya, apakah sebenarnya ilmu yang hakiki itu, apakah dapat dicapai dengan panca indra atau dengan akal? Untuk mengedepankan gejolak hatinya, Al-Ghazali sempat menghentikan seluruh aktifitasnya. Sampai akhirnya cahaya Allah menerangi hati, jiwa dan raganya, sehingga ia mampu keluar dari keraguan. Tasawuf itulah jalan baru yang dianggapnya tepat untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mengusik hatinya seperti yang ditulis pada kitabnya Ihya Ulumuddin.
Perjalanan Spiritual
Kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan segala kemewaham dan ketenarannya menuju Damaskus, Syiria, untuk menemukan ketenangan dan kesejatian hidup. Ia menjalani kehidupan zuhud, riyadhat, mujahadah, membersihkan diri dan menyucikan hati dengan dzikir kepada Allah SWT. Ia ber’itikaf memperbanyak ibadah di menara masjid Umawi. Tak lama kemudian ia hijrah ke Palestina sengaja hendak berkhalwat di Qubbatus Sakhrah. Bermunajat kepada Allah SWT, semua pintu kubah dikunci hingga tak ada satupun dapat mengganggunya. Kemudian ia berziarah ke Makam Nabi Ibrahim AS lalu menuju Hijaz untuk beribadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW.
Selama di perjalanan itu, dirinya lebih menjauhi dunia, memakai pakaian seadanya, sedikit makan dan minum, memerangi hawa nafsunya, bermujahadah seperti yang dilakukan orang shalih terdahulu dan memperbanyak barbagai macam ibadah dan ketaatan. Ditengah-tengah itu ia mengarang kitab Ihya Ulumuddin sebagai hasil dari perenungannya, mujahadahnya dan berdzikirnya kepada Allah SWT. setelah itu ia pergi ke Iskandariyah, Mesir. Tidak lama kemudian ia diminta kembali memimpin perguruan An –Nidzomiyyah. Maka kembalilah ia ke Baghdad.Namun karena hatinya sudah penuh kecintaan kepada Allah dan menjauhi dunia, ia tidak betah tinggal lama di kota yang penuh gemerlap itu. Kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah sebagai lembaga untuk memperdalam ilmu agama khususnya tasawwuf. Ia membagi waktunya untuk menghatamkan Al-Quran, berdiskusi dengan ulama lain, memberi nasehat dan petunjuk pada orang lain sambil terus bermujahadah melaksanakan sholat sunnah, puasa dan ibadah lainya.
Wafatnya Imam Ghazali
Beliau wafat di kota Thus pada hari Senin, pada Jumadil Akhir 505 H/1111 M, pada usia 55 tahun. Abu Al-Faraj Al-Jauzi dalam kitabnya Ats-Tsabat’indal mamat, mengatakan bahwa adik Imam Al-Ghazali, Ahmad berkata, “ pada hari Senin subuh kakakku Al-Ghazali berwudhu dan sholat ,lalu berkata, ambilkan untukku kain kafan. Ia berkata “Aku mendengar dan aku taat untuk menemui Al-Malik.” Kemudian ia menjulurkan kakinya dan menghadap qiblat. Tak lama ia meninggal dunia menjelang matahari terbenam. Semoga Allah SWT menyucikan ruh beliau dan Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.
2 comments:
Imam Ghozali adalah pengarang Ihya Ulumiddin yg berisi tetntang ajaran2 Islam menyeluruh, Thank your Article, guys
oh ya ya ya
Post a Comment