7/14/2013

HABIB AHMAD BIN MUHAMMAD AL MUHDHOR

 
Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor
Rotib Al Muhdhor 
 
Gurauannya Disukai Nabi Muhammad SAW
 
Terik matahari memanggang kota Makkah. Masjidil Haram tengah disesaki jamaah haji. Hari itu Jumat. Seorang khatib berdiri di atas mimbar. Ia membacakan sebuah khutbah yang teramat panjang.
Lama sekali sang Khatib berkhutbah. Jamaah tersiksa oleh sengatan siang. Maklum,,,saat itu bertepatan musim panas. Keringat bercucuran deras. Usai khutbah,,,sang Khatib mengimami sholat. Anehnya,,,,sholat kali ini dilakukan dengan sangat cepat. Surat yg ia pakai pun yang pendek2.
Setelah salam,seorang jamaah menghampiri khatib. Namanya Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdor. Tangannya menggenggam sebatang tongkat. Lalu tanpa diduga,,,sang habib menggebuk khatib dengan tongkat sembari berkata-kata lantang,,,"Kamu telah membolak-balik sunnah Rasulullah S'AW. Mestinya kamu meringkas khotbah dan memanjangkan sholat." Khatib itu berteriak kesakitan. "Hai orang-orang,,,aku dipukuli seorang Hadrami...! Habib Ahmad menimpali,,,"Aku bukan Hadrami," ia lalu bersenandung,,,"Kami mengenal Batha'(sebuah daerah di Makkah) dan ia mengenal kami. Bukit Shafa dan Baitullah (Ka'bah) mencintai kami.
Kota Makkah geger. Sang Amir,,,,Syarif Muhammad bin Awan geram. Diperintahkannya polisi untuk menangkap Habib Ahmad dan menghukumnya di depan khalayak. Keresahan melanda warga Hadrami. Mereka mengkhawatirkan nasib habib tercinta itu. "Tak usah khawatir! Ibundaku,,,Khadijah binti Khuwailid,,,selalu bersamaku," ujar Habib Ahmad menenangkan. "Aku akan berlindung di tempatnya," lanjutnya.
Saat itu juga ia bergegas ke kubah Sayidah Khadijah R.'A,,,istri mulia baginda Nabi S'AW. Sepasukan aparat keamanan mengejar di belakangnya. Sesampai di depan kubah,,,peristiwa ajaib terjadi,,,pintu kubah terbuka dengan sendirinya. Habib Ahmad masuk,,,dan pintu itu tertutup kembali. Para aparat b'usaha membuka,,,namun tak kuasa.
Mereka menemui juru kunci kubah dan meminta kunci. Namun ia enggan menyerahkan. "Takkan kuberikan kunci ini kepada siapa pun." Akhirnya dengan luapan amarah,,,mereka mengambil secara paksa. Berbekal kunci itu,,,mereka berhasil membuka pintu kubah. Tapi ajaib, Habib Ahmad tak kelihatan batang hidungnya. Mereka mencari-cari namun hasilnya nihil,ia seperti raib di perut bumi.
Para abdi praja itu akhirnya menyerah. Mereka melapor pada Syarif Muhammad perihal kejadian luar biasa itu. Syarif merasa takjub. Ia kemudian menanyai warga Hadrami mengenai siapa sebenarnya Habib Ahmad. Ketakjubannya kian membumbung kala mengetahui kesejatian sosok Habib yang alim itu.
Penguasa Makkah itu kemudian mengadakan jamuan istimewa utk Habib Ahmad sbg tanda maaf. Sang Habib menyambut hangat. Di tengah jamuan itu,Syarif Muhammad membujuk Habib Ahmad agar bersedia menetap di Makkah. Habib Ahmad tidak langsung menjawab ya ataupun tidak. "Aku tanyakan dulu kepada ibundaku,Khadijah Al-Kubra." katanya. Beberapa hari kemudian,ia mendatangi Syarif dan memberi kabar,"maaf Amir,Ibunda Khadijah menghendaki aku untuk kembali ke Quwereh." Peristiwa itu terjadi pada musim haji tahun 1250 Hijriyah.
Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Muhdor lahir di kota Rasyid,Lembah Dau'an, Hadramaut,tahun 1217 Hijriyah. Saat masih kanak-kanak,ia diboyong ayahnya ke Haramain. Di sana ia berhasil menghafal AlQuranul Karim dalam usia tujuh tahun dg bacaan yg bagus. Ia kemudian menekuni berbagai bidang pengetahuan. Di antara guru2nya di Makkah adalah: Syekh Umar bin A. al-Attar,Syekh Muhammad Sholeh ar-Rais,Syekh Ahmad as-Showi al-Mishri dan Syekh Abdur-Rahman al-Kazbaniy.
Setelah bekal ilmunya lumayan mumpuni,ia mulai sering diajak mondar-mandir antara Makkah & Hadramaut oleh ayahnya. Ketika singgah di Hadramaut,ia menyempatkan diri menimba ilmu kpd ulama2 besar di sana,seperti Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr,Habib Abu Bakar bin Abdullah al-attas,Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith,Habib Abdullah bin Idrus al-Barr dan Syekh Abdullah bin Ahmad Basaudan.
Menginjak usia dewasa,ia memutuskan kembali ke kota Rasyid. Ia menempati rumah salah satu paman dari pihak ibunya yg merupakan keluarga besar marga Bazar'ah. Ia kemudian menikah dg seorang wanita sholehah dari keluarga al-Habsyi. Dari pernikahan ini ia dikaruniai putra & putri bernama Umar,Hamid,Hadun,Khadijah dan lainnya. Selanjutnya setelah memiliki uang cukup ia membeli sebuah rumah di daerah Quwereh. Di kota itu ia menikah lagi dengan wanita dari keluarga Syekh Abu Bakar bin Salim-setelah istri pertamanya meninggal dunia.Pernikahan ke-2 ini membuahkan beberapa putra & putri di antaranya: Muhammad,Musthafa dan Sholeh.
Dari kota inilah,nama Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdor terus menjulang. Cahaya ilmu dan akhlaknya menerangi negeri Hadramaut,bahkan seluruh persada bumi. Ia dicintai kaum muslimin. Kalam2nya mudah diterima lubuk hati. Dan tersingkaplah nurbuwat yg pernah ditorehkan Syekh Umar Bamakhramah.
Ya beratus tahun sebelumnya Syeikh Umar menulis untaian syair yg mengilustrasikan sosok Habib Ahmad al-Muhdor. Dilukiskannya perangai Habib Ahmad beserta tempat2 yg pernah ia singgahi. Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr,,,salah satu guru Habib Ahmad ketika membaca syair itu,ia berseru kepada orang-orang sekitarnya, "Katakan kepada Ahmad al-Muhdor bahwa Syekh Bamakhramah mengajaknya bicara.
Selain berilmu tinggi Habib Ahmad dikenal keras dalam mujahadah. Jauh hari ia telah menyiapkan liang kuburnya sendiri yg ditempatkan di sebelah masjidnya. Ia meluangkan waktu berbaring di liang itu setiap hari sembari membaca Al-Quran. Tercatat tujuh ribu kali khataman ia selesaikan di dalam kubur itu sebelum akhirnya meninggal dunia. Namun ia pribadi yang unik. Di balik kekhusyukannya itu,ia selalu menampakkan diri sebagai sosok jenaka. Ia suka bergurau. Gurauannya bahkan kadang keterlaluan. Pernah ia menyesal dan berniat takkan bergurau lagi,,,akan tetapi ia langsung ditegur Rasulullah S'AW dalam mimpi agar meneruskan kebiasaannya bergurau.
Hati Habib Ahmad memiliki pertautan yg erat dengan Ummul Mukminin,Khadijah al-Kubra. Ia menulis kumpulan syair yg memuji ibunda az-Zahra itu. Hikayat di atas adalah salah satu bukti. Dan akhirnya ia menyusul ibundanya itu pada tahun 1304 H,,,dalam usia 87 tahun. Ia meninggalkan beberapa putra yg sholeh. Salah satunya adalah Habib Muhammad al-Muhdor, Bondowoso, seorang ulama yg pernah meramaikan blantika dakwah di nusantara ini. Ia juga meninggalkan beberapa murid yang hebat. Di antaranya: Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur dan Habib Idrus bin Umar al-Habsyi. 
 
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin
Bacaan Rotib Al Muhdor 
 

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
 
LA ILAHA ILLALLAH > 50x
ASTAGHFIRULLAH > 50x
ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAN-NABIYYIL-UMIYYI MUHAMMADIN WA ALIHI WA SALIM > 50x
YA RAHMANU YA RAHIMU YA ALLAH > 11x
YA JAWADU YA KARIMU YA ALLAH > 11x
YA SATTARU YA HALIMU YA ALLAH > 11x
YA FATTAHU YA ‘ALIMU YA ALLAH > 11x
YA MUHAIMINU YA SALAMU YA QAYYUMU LA YANAM > 11x
YA SALAMU SALLIMNA WAL-MUSLIMIN BIN-NABIYYI KHAIRIL-ANAM WA BI’UMMIL-MU’MININ > 11 x
YA LATHIFU SYAFI YA HAFIZHU YA KAFI >7x
ANTALLAH 1x
 
Kemudian tawasul membaca Al Fatihah dihadiahkan kepada :
- Rasulullah SAW
- Khadijah Al Kubra
- Aisyah Ar Ridho
- Fathimah Az Zahra
- Sheikh Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi
- Syeikh Abubakar bin Salim
- Habib Ahmad bin Muhammad al Muhdhor
- Kaum Muslim dan Mukmin


SHEIKH ABDULLOH BIN AHMAD BASAUDAN

SHEIKH ABDULLOH BIN AHMAD BASAUDAN

(Hadrah Basaudan)

Imam Hujjatul Islam Syaikh 'Abdullah bin Ahmad bin 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdur Rahman BaSaudan rahimahumUllah jami`an dilahirkan di desa Khuraibeh, wadi Dau`an, Hadhramaut pada tahun 1178H. Nasab beliau bersambung kepada Sayyidina al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi RA, sahabat Junjungan Nabi SAW.

Syaikh Abdullah BaSaudan sejak kecil lagi telah diasuh dengan didikan agama. Sejak usia tersebut lagi beliau telah menghafal al-Quran dan berbagai matan ilmu. Beliau mempunyai ramai guru, di antaranya ialah Syaikh 'Abdullah bin Ahmad bin Faris BaQais dan Habib 'Umar bin Abdur Rahman al-Baar, murid Imam al-Haddad RA, yang menjadi syaikh futuhnya, Habib Ahmad bin 'Ali Bahar al-Qadimi, Habib Hamid bin 'Umar Hamid, Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, Habib Husain bin 'Abdullah bin Sahal, Habib 'Umar bin Saqqaf as-Saqqaf, Habib Syaikh bin Muhammad bin Hasan al-Jufri, Habib Hasan bin Shaleh al-Bahar al-Jufri, Habib Thahir bin Husain bin Thahir dan Habib 'Umar bin Zain BinSumaith rahimahumUllahu. Selain Hadhramaut, Syaikh 'Abdullah BaSaudan turut menimba ilmu daripada ulama al-Haramain, antarnya dengan Habib 'Ali bin Muhammad al-Baity, Habib Muhsin bin Alwi Muqaibal, Habib Ahmad bin 'Alwi BaHasan Jamalulail dan Syaikh Muhammad bin Shaleh ar-Rais rahimahUllahu ta`ala jami`an. Syaikh 'Abdullah BaSaudan juga pernah berkelana ke Mesir dan bermukim di sana untuk belajar dengan para ulamanya.

Ketekunan beliau dalam menuntut ilmu akhirnya menjadikan beliau seorang yang sangat alim (`allaamah) yang menjadi rujukan dan mufti. Bahkan, para ulama Hadhramaut memberikan gelar "Hujjatul Islam" kepada beliau lantaran ketinggian ilmu dan keelokan amal serta pekerti beliau.

Syaikh 'Abdullah BaSaudan juga mempunyai banyak karya yang bernilai, antaranya:-
Mandzhumah al-Mishbaah fi Ahkaamin Nikah;
Tahshiilul Maqshuud;
'Uddatul Musaafir wa 'Umdatul Haaj waz Zaa-ir;
al-Ifshaah bi Ahkaamin Nikaah;
Zaituunatul Liqaah;
al-Futuuhaatul 'Arsyiyyah;
Mathaaliul Anwaar;
Hadaa-iqul Arwah;
Kasyful Qinaa';
Dzakhiiratul Ma`aad bi Syarhi Ratibil Haddad;
al-Anwaarul Laami`ah bi Syarhil Risaalatil Jaami`ah;
Simthul 'Iqyaan;
Syaikh 'Abdullah BaSaudan rahimahUllah kembali ke rahmatUllah pada tanggal 7 Jumadil Awwal 1266H dan dimakamkan di Kota Khuraibeh. Mudah-mudahan Allah mencucuri rahmat dan kasih-sayangNya kepada beliau ... al-Fatihah.

Hadrah BaSaudan adalah kumpulan zikir, munajat, ibtihal, qasidah dan tawassul yang disusun oleh Syaikh 'Abdullah bin Ahmad BaSaudan. Tetapi dikatakan bahawa susunan awalnya adalah daripada Habib 'Umar bin 'Abdur Rahman al-Baar lalu dilanjutkan oleh muridnya Syaikh 'Abdullah BaSaudan dan akhirnya disempurnakan oleh Habib 'Abdur Rahman al-Masyhur, pengarang "Bughyatul Mustarsyidin". Oleh itu di sesetengah tempat, hadrah ini dikenali sebagai "Hadrah al-Baar", sempena syaikh futuh Syaikh 'Abdulah BaSaudan, Habib 'Umar bin 'Abdur Rahman al-Baar.

Seluruh ulama Tarim, Hadhramaut sangat mengetahui Hadrah ini memiliki manfaat yang sangat banyak sebagai wasilah memohon daripada Allah akan segala rahmat, pemeliharaan, keselamatan dan kejayaan di dunia dan akhirat. Di Tarim, setiap hari Selasa selalu digelar majlis-majlis pembacaan Hadrah Basaudan di banyak tempat, antaranya di Rubath Tarim, di kediaman al-Mufti al-Habib 'Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur, di kubah al-Habib Abu Bakar Basymeleh Zanbal, di madrasah Habib Abdullah bin Syeikh al -Aydrus, dan di masjid- masjid yang lain, bahkan juga di rumah-rumah penduduk. Majlis yang diadakan setiap Selasa di rumah Habib 'Abdur Rahman al-Masyhur dikepalai oleh al-Habib Ali Masyhur bin Muhammad BinHafiz, kekanda Habib 'Umar BinHafiz. Kini, majlis-majlis Hadrah BaSaudan mula berkembang ke seluruh dunia Islam. Semoga keberkatannya dapat kita rasai, istimewa pada zaman yang penuh dengan pancaroba dan petaka ini.

Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin

MUJAHADAH ALAWIYIN

Mujahadah Tokoh Alawiyin (1)

Ketahuilah, bahwa sering dilakukan di kalangan para tokoh thariqah Alawiyah jenis-jenis mujahadah seperti yang dilakukan oleh para tokoh di dalam kitab Risâlah al-Qusyairiyyah, juga para tokoh yang disebutkan dalam kitab Hilyatul Auliyâ’ karya Abu Nu’aim rahimahumullah. Itu semua dijelaskan secara khusus di dalam kitab-kitab manaqib dan tarjamah mereka. Sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikh Ali bin Salim, murid dari Syaikh Abdullah Ba’alawi pada masa-masa ketika beliau tinggal bersamanya di Makkah pada bulan Ramadhan. Beliau berkata: “Apabila kami selesai melaksanakan shalat Tarawih, maka masing-masing dari kami mewajibkan diri untuk melaksanakan shalat dua rakaat yang di dalamnya kami membaca al-Quran seluruhnya dan kami tidak menyantap makan malam kecuali sesudah selesai dari dua rakaat tersebut, yaitu sesudah berbuka puasa dengan seteguk air atau sebutir kurma. Ketika itu saya belajar al-Quran kepada beliau dan masing-masing dari kami tidak keluar sebelum membaca setengah al-Quran.”
Ketika itu Syaikh Muhammad bin Alawi bin Ahmad cicit dari Al-Ustâdz al-A’zhâm (Al-Faqîh al-Muqaddam-ed.) suka menelaah bacaannya pada waktu malam. Lalu beliau pun terbuai sampai setengah malam atau sebagian besar waktu malam atau boleh jadi justru semalam suntuk. Dikisahkan, bahwa pelita (lampu minyak) telah membakar sebanyak tiga belas sorban beliau pada saat beliau membaca Al-Quran, karena begitu terbuai di dalam bacaan.
Juga dikisahkan dari Syaikh Muhammad Maula ad-Dawilah bahwa beliau pernah berdiam selama dua puluh tahun melakukan shalat Subuh dengan wudhu’ yang digunakan dalam shalat Isya’. Dan beliau melakukan puasa empat puluh hari secara beruntun selama musim panas.
Adapun putra beliau Syaikh Abdur Rahman as-Saggaf suka menyepi di perkampungan an-Nu’air pada sepertiga malam terakhir dan setiap malamnya beliau dapat menghatamkan al-Quran dua kali khatam. Juga setiap harinya dua kali khatam. Berlanjut dengan empat kali khatam pada malam hari, empat kali khatam pada siang hari. Dua kali khatam pada waktu sesudah shalat Subuh sampai kepada waktu Zhuhur. Satu kali khatam pada waktu seusai shalat Zhuhur sampai waktu Asar yang mana beliau baca di dalam dua rakaat. Juga beliau mengkhatamkannya sesudah shalat Asar.
Pernah beliau tinggal sekitar tiga puluh tiga tahun tanpa tidur pada malam hari maupun siang. Beliau mengatakan: “Bagaimana akan dapat tidur, bila mana seseorang yang apabila berbaring ke sisi kanan akan dapat melihat surga dan apabila berbaring di atas lambung kiri dapat melihat neraka.”
Tetapi penglihatan itu hanya dapat terlihat melalui mata hati yang terkadang berbalik ke jalur pandangan mata kepala. Itu dapat muncul kepada beliau lantaran kuatnya iman dan keyakinan.
Di dalam hadits tentang gerhana (al-kusûf) yang tercantum di dalam Shahih al-Bukhari terkandung keterangan yang mirip dengan makna seperti itu.
Beliau pernah berdiam di perkampungan Nabi Hud AS. selama satu bulan penuh tanpa makan kecuali hanya segenggam makanan dari tepung. Sedang putra beliau Syaikh Umar al-Muhdhor pernah menjauhi makan pada siang dan malam hari. Bahkan tinggal selama lima tahun tanpa makan sebagaimana kebiasaan masyarakat. Beliau juga pernah tinggal selama tiga puluh tahun tanpa makan kurma, dan beliau berkata: “Itulah hal yang paling saya sukai. Oleh karena itu saya dapat menahan diri.”
Beliau tinggal di daerah Ridah al-Musyqish selama satu bulan penuh tanpa merasakan sesuatu pun kecuali air. Beliau juga pernah menahan diri selama melakukan perjalanan ibadah haji selama empat puluh hari tanpa merasakan makanan maupun minuman. Makanan beliau tidak tersentuh dan tidak menjadikannya lemah dalam berjalan. Kemudian berada di lokasi perkampungan Nabi Hud AS. selama satu bulan tanpa makan selain dua belas potong ikan laut. Seringkali makanan pokok beliau adalah susu. Di samping itu beliau masih juga melakukan mujahadah-mujahadah lain.
Ketika itu putra saudara beliau yang bernama Syaikh Abdullah al-Aydrus, menjalani beberapa waktu tanpa makan lain kecuali kurma Isyrak. Beliau juga menjalani puasa selama tujuh tahun dan berbuka puasa hanya dengan tujuh butir kurma tanpa makan yang lain. Juga pernah selama satu tahun beliau tidak makan kecuali sebanyak lima cupak (mud). Juga pernah sepanjang satu bulan penuh, beliau tidak makan kecuali sebanyak satu cupak saja.
Beliau rahimahullah mengatakan: “Pada awalnya saya membaca buku-buku tashawuf, lalu saya menguji diri melalui cara mujahadah mereka sebagaimana dijelaskan di dalam kitab-kitab karangan mereka.”
Beliau tinggal selama tiga tahun dengan tidur di tempat-tempat sampah sebagai latihan jiwa. Selanjutnya tidak tidur selama lebih dari dua puluh tahun, tanpa tidur sedikit pun, baik pada malam maupun siang hari!
Beliau suka mengambil kitab yang mirip dengan Al-Minhaj, membaca isinya sejak awal petang sampai akhir malam. Dikisahkan, bahwa beliau rahimahullah pernah berkata bahwa beliau pernah berpegang pada kitab serupa Nasyrul Mahâsin dan kitab Athraf al-‘Ajâ-ib pada waktu Zhuhur. Beliau mempelajarinya dan menelaah isinya, maka sebelum tiba waktu Asar, beliau sudah sampai pada bagian akhir. Saya suka membiasakan diri mengerahkan perhatian untuk bersungguh-sungguh dan suka kepada sikap demikian. Dan rasa gemar itu datang dengan sendirinya.”
Sementara itu, saudara beliau yang bernama Syaikh Ali bin Abu Bakar tidak tidur malam hari kecuali hanya seperenamnya saja, ia membaca Kitab al-Quran dan membiasakan seperti itu, sedang suluknya adalah ajaran-ajaran pada kitab Tuhfah al-Muta’abbid.
Syaikh Quthb Abu Bakar bin Abdullah al-Aydrus, sebagaimana dikisahkan tentang mujahadah beliau, bahwa beliau pernah meninggalkan tidur malam selama lebih dari dua puluh tahun. Sementara menurut seseorang terpercaya yang menjadi pelayan beliau, bahwa hal tersebut berselang lebih dari tiga puluh tahun. Dan ia pun mengatakan: “Saya belum pernah melihat beliau terlelap tidur lebih dari tiga jam.”
Putra paman beliau bernama Syaikh Abdur Rahman bin Ali selalu perhatian kepada setiap ibadah fardhu, banyak membaca al-Quran, wirid, dan tidak tidur semalaman. Beliau tersebut berkata: “Tiada yang lebih saya sukai dalam hidup kecuali membaca kitab-kitab, untuk meningkatkan amal soleh dan mengejar ilmu-ilmu yang bermanfaat.”
Di antara buku-buku yang dibacakannya di hadapan ayah beliau adalah kitab Al-Ihyâ’. Beliau telah membacakan kitab itu kepada ayahnya sebanyak empat puluh kali. Pernah beliau keluar rumah, yang ketika itu beliau masih sebagai anak kecil, bersama putra pamannya Abu Bakar bin Abdullah al-Aydrus, menuju ke perkampungan an-Nu’air sesudah lewat tengah malam dengan tujuan hendak melakukan shalat tahajud. Maka, masing-masing mereka membaca sepuluh juz di dalam shalat. Lalu keduanya pulang ke rumah sebelum Subuh.
 
Mujahadah tokoh Alawiyin (2)
Syaikh Abu Bakar bin Salim, pernah tinggal selama beberapa lama, berpuasa tanpa berbuka kecuali kurma keras. Juga pernah berdiam selama empat puluh tahun melaksanakan shalat Subuh dengan wudhlu’ dari shalat Isya’.
Dikisahkan oleh salah seorang murid beliau Syaikh Hasan Basyu’aeb, bahwa beliau pernah merasa lapar selama satu atau dua minggu. Bahkan pernah melalui masa satu tahun tanpa memejamkan mata. Dikisahkan, beliau di Yabkhar pernah tidak makan selama sembilan puluh hari, artinya tiga bulan. Dan bahwa beliau pernah melaksanakan shalat Subuh dengan wudhu’ Isya’ selama empat puluh tahun. Setiap malam beliau pergi berziarah ke pekuburan di kota Tarim. Kemudian kembali dan melaksanakan shalat Subuh di Masjid Ba’isa di Lasik.
Beliau berkata: “Saya pernah mendengar kakek saya Syaikh Ahmad bin Hasan Basyu’aeb, bahwa beliau membaca kitab Al-Minhâj sebanyak tiga kali. Dan melalui kisah dari beliau atau orang lain, bahwa kakeknya sudah membaca kitab Al-Ihyâ sebanyak empat puluh kali.
Syaikh Abdullah bin Alawi al-Haddad sejak kecil melakukan shalat sebanyak dua ratus rakaat di masjid Bani Alawi. Apabila pulang dari tempat pendidikan pada waktu Dhuha, beliau suka mengunjungi beberapa masjid bersama rekan belajarnya, Syaikh Ahmad bin Abdullah Bilfaqih. Lalu masing-masing melakukan shalat seratus rakaat. Beliau juga banyak membaca zikir terutama ucapan “lâ ilâha illallâh” bahkan ketika sedang berbincang-bincang dengan orang lain ataupun sedang belajar.
Syaikh Ahmad bin Zein al-Habsyi pada masa kanak-kanak, beliau sudah cenderung, berupaya dan berambisi untuk meningkatkan perbuatan-perbuatan baik dan kebaktian, khususnya dalam bidang menuntut ilmu. Beliau suka melakukan perjalanan ke kota-kota sekitarnya, sejak dari al-Ghirfah, ke Syibam, Turais dan Sewun dengan berjalan kaki sampai ke Tarim dalam rangka menuntut ilmu. Tanpa mempersoalkan masalah makan. Beliau makan seadanya. Menekan diri hidup dengan sederhana, sehingga sudah merasa cukup dengan hanya tiga suap. Bahkan tidak mampu makan lebih dari tiga suap. Adakalanya beliau berhasrat kepada makanan-makanan yang baik, tetapi ia tidak dapat memakannya karena usus-ususnya sudah menyempit sehingga tidak dapat memuatnya.
Salah seorang guru kami Al-’ârif billâh Habib Hasan bin Shalih al-Bahar juga memiliki kepribadian serupa, sebagaimana hal itu kami dengar dari orang-orang terpercaya. Seorang guru kami yang juga merupakan guru dari para guru kami Al-’ârif billâh Habib Idrus bin Umar al-Habsyi menanyakan kisah tersebut kepada guru beliau Habib Hasan, lalu beliau pun membenarkannya.
Di antaranya membatasi makan, tekun melakukan riyadhah (latihan jiwa), sampai jiwanya tidak dapat menerima makanan. Apabila sesekali ia makan roti milik ibunya, maka roti itu tidak dapat bertahan di perutnya, tetapi cenderung hendak keluar, lalu ia pun mengeluarkannya. Ia pun tinggal sekian lama dalam rangka menuntut ilmu di Tarim kepada al-Aswadain dengan hanya makan kurma dan air.
Guru kami yang juga guru para guru kami Habib Idrus berkata: “Habib Hasan bin Shalih suka bepergian ke Tarim untuk menuntut ilmu. Beliau bersama dengan Mu’allim Abdullah bin Salim bin Sumair, keduanya tinggal beberapa lama di sana tanpa makanan kecuali sedikit kurma untuk pagi dan petang dalam rangka melatih jiwa dan dalam rangka meneladani beliau SAW. yang mana Rasul SAW. pernah melalui masa dua bulan tanpa makanan kecuali kurma dan air.
Lebih lanjut Habib Hasan berkata kepada Mu’allim Abdullah: “Marilah kita ganti  makanan kita dengan tepung masam dan bukan kurma. Sebab cahaya dari makanan tepung lebih utuh dan lebih sempurna dibanding kurma.” Mu’allim menjawab: “Cukuplah bagi kita cahaya kurma, tidak perlu kita memperluas ke cahaya tepung.”
Demikian diriwayatkan oleh salah seorang ulama besar muridnya, yaitu Habib Ubaidullah bin Muhsin as-Saggaf yang telah menghimpun ucapan-ucapan beliau.
Yang dimaksud dengan makanan “tepung masam” di atas, adalah makanan sejenis adonan tepung yang minyaknya sudah dikeluarkan.
Pada masa-masa beliau tinggal di Syibam, maka beliau berbuka dalam bulan Ramadhan dengan hanya roti jagung yang kerapkali bersifat kurang bersih dan tidak lezat. Disertai dengan minum kopi. Bahkan beliau juga melakukan puasa selama beberapa hari tanpa merasakan minum kopi sekalipun di dalam berbuka.
Beliau banyak membaca al-Quran di dalam shalat dua rakaat. Pada malam-malam tertentu, beliau suka membaca Surat al-Ikhlâsh sampai sembilan puluh ribu kali. Dan terjadi beberapa kali, beliau membaca Surat Yaa Siin sebanyak empat puluh kali di dalam satu kali duduk. Secara rutin membaca kalimat tauhid. Maka tersingkaplah kepada beliau berbagai kasyf (penglihatan ke alam gaib) yang penting.
Masa-masa ketika beliau tinggal di Tarim, tidak lain hanya sekedar untuk mengistirahatkan kepala beliau.
Pernah terjadi pada awal beliau menjadi populer, ketika itu beliau tinggal di Tarim, tiba-tiba ada tiga ekor ayam jantan naik ke atas dinding tempat beliau berada. Lalu salah seekor daripadanya mengajaknya berbicara dengan bahasa yang jelas dan uraian yang fasih.”
Terdapat cerita-cerita lain tentang mujahadahnya dan juga keanehan-keanehan dalam jumlah banyak.
Demikian juga salah seorang guru dari para guru kami Imam Besar Abdullah bin Husain bin Thahir. Beliau melakukan mujahadah-mujahadah yang berat dalam upaya menjaga waktu, mengerahkan perhatian untuk berzikir dan berdoa. Setiap hari beliau membaca 25.000 (dua puluh lima ribu) kali “lâ ilâha illallâh”, 25.000 kali “yâ Allâh”, dan bershalawat kepada Nabi SAW. sebanyak 25.000 kali. Masih ditambah dengan berbagai wirid dan zikir. Beliau suka mandi dan memakai minyak wangi setiap hendak melaksanakan ibadah wajib.
Pernah ada seseorang yang memberi hadiah sebuah jam kepada beliau dan mengajarkan kepada beliau cara menjalankannya. Tiba-tiba jam itu tidak berjalan. Beliau ditanya tentang jam itu. Lalu menjawab: “Saya tidak punya waktu untuk menjalankannya.”
Habib Umar bin Zein bin Smith termasuk seorang ahli mujahadah yang ulung. Beliau pernah tinggal selama sekitar tujuh belas tahun tanpa menempatkan punggungnya ke lantai.
Habib Shalih bin Abdullah Al-’Aththas, pada awalnya beliau memiliki berbagai jenis mujahadah. Tinggal di Makkah selama tiga bulan tanpa makanan kecuali air zam-zam. Beliau selalu perhatian kepada Allah sekalipun berada di tengah khalayak ramai dan mengucilkan diri dari mereka.
Habib Abu Bakar Al-’Aththas memiliki berbagai ragam mujahadah dan zikir. Di antara wirid beliau setiap malam adalah membaca Surat Yâ Sîn seribu kali. Kemudian menguranginya pada akhir usia beliau sebatas dua ratus lima puluh kali setiap malam. Guru kami mengatakan: “Kami belum pernah melihat sedikit pun dari wirid-wirid beliau yang lain (selain Surat Yâ Sîn –pen).” Atau ucapan seperti itu.
Habib Thahir bin Umar al-Haddad tidak tidur pada malam hari selain hanya tiga jam saja. Seluruh waktunya dikerahkan untuk tugas-tugas ibadah, tidak pernah kosong.
Guru kami mengatakan: “Abid-abid dari kalangan kami pada zaman ini adalah Thahir bin Umar al-Haddad, Abdullah bin Hasan al-Bahar, Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur, dan Zain bin Shalih bin Aqil bin Salim.”
Menurut pendapat kami, mereka juga memiliki berbagai metode-metode, upaya-upaya mengerahkan perhatian, juga konsenstrasi dalam ibadah yang terlalu panjang lebar untuk dijelaskan.
Kakek kami Habib Abdullah bin Thaha al-Haddad, tergolong orang yang memfokuskan diri ke arah keilmuan dan ibadah, disertai sikap zuhud dan kesederhanaan. Selanjutnya beliau pun dikuasai suasana zikir hati dan lidah, baik pada malam maupun siang hari, dalam keadaan terjaga maupun tidur, sehingga beliau dijuluki “si tukang bergumam”, karena banyak bergumam di dalam dzikrullah, bershalawat serta salam kepada Rasulullah SAW. Seperti itu pula sikap putra beliau, yaitu paman kami Habib Shalih bin Abdullah al-Haddad.
Sementara guru kami penyusun kitab manaqib, maka sudah kami jelaskan sebagian dari kepribadian beliau pada pasal pertama yang lalu. Berikut nanti akan kami tambahkan dengan beberapa hal yang belum dijelaskan.
Sumber : Kitab Uqudul Almas karya sayid Alwi bin Thahir al-Haddad.

AL IMAM MUHAJIR AHMAD BIN ISA

 
Al Imam Muhajir

Kelahiran
Al Imam Muhajir Ahmad bin Isa lahir di kota Bashra Iraq tempat tinggal keluarga dan sanak saudaranya, para ahli sejarah berselisih tentang tanggal kelahiran Al Imam Al Muhajir, namun Saiyid Muhahammad Dhiya' Shihab dalam kitab beliau yang berjudul Al Imam Al Muhajir mengatakan: sejauh pengetahuan kami tak seorang pun yang mengetahui umur Al Imam Al Muhajir secara pas, boleh jadi karena literatur yang mengungkapkan hal tersebut telah sirna, akan tetapi dari sedikit data yang kami miliki kami dapat mengambil satu kesimpulan, dan boleh jadi kesimpulan yang kami ambil ini sesuai dengan fakta, lalu dia mengatkan setelah dipelajari dan diperbandingkan dari sejarah pekerjaan anak-anak beliau dan sebagian guru-guru beliau, bisa disimpulkan bahwa Al Imam Al Muhajir dilahirkan pada tahun 273 H. Saiyid Salim bin Ahmad bin Jindan mengatakan di kitab Muqaddimah Musnad-nya bahwa Al Muhajir belajar kepada Al Nablisi Al basri ketika beliau berumur 4 th, dari sini disimpulkan bahwa beliau dilahirkan pada 279H.

Al Muhajir tumbuh dan berkembang dibawah Asuhan kedua orang tua nya dengan nuansa keilmuan religi yang sangat kental, demikina diungkapkan oleh Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Shatiri, dalam kitabnya Adwaar Al Tarikh Al Hadhramy.
Masa yang dilalui Al Muhajir adalah masa yang dipenuhi dengan ragam peradaban dan warna-warni ilmu pengetahuan, seperti ilmu Shariah, filsafat, falak, satra, tasawuf, matematika dan lain-lain, dikatakan bahwasanya Al Muhajir banyak mengambil riwayat dari ulama' pada zamannya, diantara mereka, Ibnu Mundah Al Asbahani, Abdul Karim Al Nisai, Al Nablisi Al bashri, banyak pula para ulama' yang mengambil riwayat dari nya seperti Alhafidh Al Daulabi (di bashrah 306H), Ibnu Shaid, Al Hafidh Al Ajury, Abdullah bin Muhammad bin Zakariya Al Aufi Al Muammar Al Bashri, Hilal Haffar Al Iraqi, Ahmad bin Said Al Ashbahani, Ismail bi Qasim Al Hisasi, Abu Al Qasim Al Nasib Al Baghdadi, Abu Sahl bin Ziyad, dan lain-lain.

Sebagaimana disebutkan bahwa masa ini makmur dengan ilmu dan budaya namun disisi lain masa ini pun marak dengan fitnah, pertikaian, bentrok pemikiran dan senjata, Al Muhajir memandang masa itu sebagai masa kritis yang penuh dengan cobaan dan penderitaan, Negara-negara islam mulai meleleh persatuan pandangan dan politiknya, dan berkembang menjadi unstabilitas sosial dan pertumpahan darah.

Revolusi Negro dan Fitnah Karamitah

Kehidupan Al Muhajir semenjak muda hingga dewasa diwarnai dengan guncangan-guncangan social dibashrah[1] dan Iraq secara umum, mulai dari revolusi negro yang berawal pada tahun 225, pada masa pemerintahan Negri Abbasiyah, sampai fitnah yang disebarkan oleh Karamitah, sebuah sekte yang dipimpin oleh Yahya bin Mahdi di Bahrain, dia dengan para pengikutnya bekerja keras untuk membiuskan paham-pahamnya disemua lapisan masyarakat dan menggunakan situasi guncang akibat revolusi negro dan fitnah Khawarij untuk memepercepat pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Seorang Ahli Sejarah, Abdullah bin Nuh menuliskan dalam tambahannya untuk kitab Al Muhajir hal 37 tentang kesaksian Al Muhajir tentang terpencarnya Bani Alawi ke penjuru dunia, seperti India, Sumatra, kepulauan Ujung timur, dan perbatasan cina, yang mana hal ini merupakan sebab tersebarnya agama islam diseluruh dunia.

Kepribadian Al Muhajir di Bashrah

Kepribadian Almuhajir dibentuk oleh suasana yang penuh dengan pertentangan, ilmu, sastra, falsafat, pertumpahan darah, rasa takut, pertikaian disamping giatnya gerakan roda perdagangan dan pertanian, bahkan Almuhajir menyaksikan kapal-kapal besar bersandar di Bashrah dengan membawa barang dagangan hasil bumi, dan orang-orang dari berbagai bangsa. Keluarga Al Muahajir termasu keluarga terhormat yang bersih hatinya, penuh keberanian, kedudukan dan kekayaan dibarengi dengan taqwa dan istiqamah. Saudara Al Muhajir Muhammad bin Isa adalah panglima perang dan pemimpin expansi wilayah islam.

Hijrah Al Muhajir dari Bashrah

Hijrah Al Imam Al Muhajir di dorong oleh keinginan untuk menjaga dan melindungi keluarga dan sanak familinya dari bahaya fitnah yang melanda Iraq diwaktu itu.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Al Muhjir memutuskan untuk hijrah ke hijaz, maka disodorkanlah berbagai alasan untuk meyakinkan keluarga dan sanak familinya untuk meninggalkan bashrah, dan mereka pun menyetujui usulan Al Muhajir. Hijrah Al Muhajir terjadi pada 317 H dari Bashrah ke Al MAdinah Al Munawwarah. Diantara keluarga dan sanak famili Al Muhajir yang ikut berhijrah bersama Al Muhajir adalah:
1. Al Imam Al Muhajir Ilaa Allah Ahmad bin Isa.
2. Zainab binti Abdullah bin Hasan Al Uraidli Isteri Al Muhajir
3. Abdullah bin Ahmad putra Al Muhajir
4. Ummul Banin binti Muhammad bin Isa bin Muhammad Isteri Abdullah bin Ahmad.
5. Ismail bin Abdullah bin Ahmad yang dijuluki dengan Al Bashry
6. Al Syarif Muhammad bin Sulaiman bin Abdillah kakek Keluarga Al Ahdal.
7. Al Syarif Ahmad Al Qudaimi kakek keluarga Al Qudaim
8. 70 orang dari oarng-orang dekat Al Muhajir diantara mereka: hamba sahaya Al Muhajir, Jakfar bin Abdullah Al Azdiy, Mukhtar bin Abdullah bin Sa'ad, dan Syuwaiyah bin Faraj Al Asbahani.

Rombongan Al Muhajir berhijrah ke madinah melalui jalan Syam karena jalan yang biasa dilalui kurang aman, dan sampai di Madinah pada tahun 317, konon di tahun ini terjadi fitnah besar di Al Haramain, gerakan Karamithah masuk ke Makkah Al Mukarramah di musim haji dan membuat keributan di sana serta mengambil hajar aswad dari tempatnya. Pada tahun berikutnya 318H Al Muhajir beserta keluarga berngkat ke Makkah untuk melaksanakan Ibadah Haji, konon para jamaah haji pada tahun itu hanya meletakkan tangan mereka di tempat hajar aswad, disaat melaksanakan Ibadah haji Al Muhajir bertemu dengan rombongan dari Tihamah dan Hadhramaut, belajarlah mereka dari Al Muhajir ilmu dan akhlak, dan mereka menceritakan kepada Al Muhajir tentang fitnah Al Khawarij di Hadhramaut dan mengajak Al Muhajir untuk membantu mereka menyelesaikan fitnah itu lantas Al Muhajir menjanjikan untuk datang ke negeri mereka.

Perjalanan ke Tihamah dan Hadhramaut.

Hadhramaut pada waktu itu berada dibawah pengaruh Abadhiyah suatu gerakan yang dipelopori oleh Abdullah bin Ibadh Al Maady, gerakan ini pertama kali muncul pada abad kedua hijriah dibawah pimpinan Adullah bin Yahya Al Amawi yang menjuluki dirinya sebagai pencari kebenaran.

Al Mas'udi dalam kitab sejarahnya menuliskan "Alkhawarij masuk Hadhramaut dan pada saat itu kebanyakan penduduknya adalah pengikut aliran Ibadhiyah dan sampai saat ini (332 tahun penulisan buku tersebut) dan tidak ada perbedaan antara Khawarij yang ada di Hadhramaut dengan yang ada di Oman. Akan tetapi aliran Ibadhiyah dan Ahlu Sunnah tetap hidup di Hadhramaut meskipun pengaruh Khawarij lebih menyeluruh di wilayah Hadhramaut samapi datangnya Al Muhajir.
Mengapa Al Muhajir memilih untuk berhijrah ke Hadhramaut?

Dhiya Syihab dalam kitabnya Al Imam Al Muhajir mengatakan, apakah motivasi Al Muhajir untuk berhijrah ke hadhramaut adalah harta? Hadhramaut bukanlah negri yang berlimpah harta dan dia pun seorang yang kaya raya, ataukah hijrah Al Muahjir adalah untuk membantu rakyat hadhramaut, dan mencegah merembetnya fitnah Karamitah yang terus meluas? Sebenarnya kondisi dan peristiwa-peristiwa diatas adalah alas an utama kenapa Al Muhajir berhijrah ke Hadhramaut, sesuai ayat "Alam takun ardlu Allahi waasi'atan fatuhaajiruu fiihaa" artinya tidakkah bumi Allah itu luas sehingga kamu berhijrah dan hadist " yuu syiku an yakuuna khairu maali al muslim ghanamun yatba'u biha sya'afa al jibal wa mawaqi'a alqatar ya firru bidiinihi min al fitan" artinya dikhawatirkan akan dating suatu masa dimana harta yang paling berharga bagi seseorang adalah kambing, dia membawanya kearah pegunungan dan kota-kota untuk melarikan diri menyelamatkan agamanya dari fitnah. Maka Allah menjadikan hijrah Al Muahajir ke Hadramaut sebagai donator dan petunjuk sebab dengan hartanya Al Muhajir membangun banyak infrastruktuk yang lapuk dimakan zaman dan dengan kehadirannya Allah menyadarkan banyak dari orang-orang yang fanatic buta kepada Kahawarij.

Rombongan Al Muhajir diantara Tihamah dan Hadhramaut.

Saiyid Muhammad bin Sulaiman Al Ahdal salah satu dari anggota rombongan memutuskan untuk menetap di Murawa'ah di Tihamah, sedangkan saiyid Ahmad Al Qudaimy memutuskan untuk menetap di lembah Surdud di Tihamah, dan dengan izin Allah SWT mereka menjadi tonggak berkembangnya keturunan Nabi Muhammad SAW di negri tersebut, adapun Al Muhajir dia tetap meneruskan perjalanan hingga sampai di desa Al Jubail di lembah Doan, konon penduduknya merupakan pecinta keluarga Nabi Muhammad SAW dan mereka dapat banyak belajar dari Al Muhajir, kemudian pindah ke Hajren disana terdapat Al Ja'athim termasu kabilah Al Shaddaf yang merupakan pengikut aliran Sunny, disana Al Muhajir mangajak semua golongan untuk bersatu di bawah panji islam dan mempererat tali persaudaraan diantara mereka, maka banyaklah diantara orang-orang kahawarij yang sadar dan taubat kembali kejalan yang benar, ketika di Hajren Al Muhajir ditemani dan dibela oleh para petua dari kabilah 'afif. Al Muhajir membeli rumah dan kebun korma di hajren yang kemudian dihibahkan ke hamba sahaya nya Syuwaiyah sebelum pindah dari Hajren.

Dan setelah keluar dari Hajren Al Muhajir singgah dan bertempat tinggal di kampung Bani Jusyair didekat desa Bur yang mana penduduknya pada saat itu adalah Sunny, disitu Al Muhajir berdakwah dengan sabar dan sopan, kemudian pindah lagi ke desa Al Husaiyisah[11] dan disana membeli tanah perkebunan yang dinamakan Shuh di atas desa Bur. Pada periode ini Al Muhajir banyak menarik perhatian orang di daerah itu sehingga mereka banyak mengikut langkah sang Imam, kecuali beberapa golongan dari kahawarij, hal ini yang menyebabkan Al Muhajir mendatangi mereka untuk memahamkan mereka.

Al Imam Al Muhajir dan Khawarij

Hadirnya Al Muhajir di Hadhramaut merupakan peristiwa besar dalam sejarah, sebab kehadiran Al Muhajir di Hadhramaut membawa perubahan besar di daerah itu, Yaman ketika itu diperintah oleh Al Ziyad di Yaman utara, namun penduduk Hadhramaut memiliki hak untuk menetukan perkara mereka, tidak semua penduduk Hadhramaut pada saat itu bermadzhab Ibadhi, terbukti keluarga Al Khatib dan Ba Fadhal dari Tarim pada saat itu masih berpegang teguh dengan aliran yang benar.

Imam Muhajir selalu berdiskusi dengan para pengikut Abadhiyah dengan bijaksana dan teladan yang mulia, yang mana hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para lawan diskusinya dan menimbulkan simpati mereka, Khawarij adalah mazhab yang menerima diskusi tentang madzhab mereka dan mereka pun banyak berdiskusi dengan para ulama di banyak hal, sedangkan Al Imam Al Muhajir merupakan sosok yang ahli dalam hal meyakinkan lawan bicara. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Saiyid Al Syatiri dalam kitabnya "Al Adwar" halaman 123, sehingga aliran Al Abadhi perlahan-lahan terkikis dan habis di hadhramaut dan digantikan dengan mazhab Al Imam Syafii dalam hal pekerjaan dan Imam Al Asy'ary dalam hal Aqidah.

Para ahli sejarah berselisih pendapat tentang terjadinya kontak senjata antara Al Muhajir dengan Khawarij, sebagian menyatakan terjadinya hal itu dan meriwayatkan kemenangan Al Muhajir atas kaum Khawarij, sebagian lagi menafikan hal tersebut.

Saiyid Al Syathiri dalam kitabnya "Al Adwar" menafikan terjadinya kontak senjata diantara kedua belah pihak, dkatakanjuga bahwa pendapat ini di ambil karena dari sekian referensi sejarah yang ada pada nya tidak satupun yang memaparkan tentang terjadinya kontak senjata diantara kedua belah pihak demikian juga para penulis sejarah Hadhramaut dari kurun terakhir, adapun Saiyid Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh dalam kitab Al Muhajir menyatakan terjadinya perang Bahran namun keduanya tidak mencantumkan referensi yang memperkuat pendapat tersebut.

Saiyid Abdul Rahman bin Ubaidillah mengatakan bahwa Al Muhajir dan putra-putra nya terus menrus melancarkan argument-argumen kepada Ibadhiyah sampai mereka kehabisan dalil dan pegangan, dikatakan juga bahwa Al Muhajir melumpuhkan kekuasaan Abadhiyah dengan cara melancarkan argument-argumen yang membuktikan kesalahan mazhab mereka, Syeh Salim bin Basri mengatakan Al Muhajir membuka kedok bid'ah Khawarij dan membuktikan kesalahannya, pendapat keduanya didukung pula oleh Al Faqih Al Muqaddam.

Al Imam Al Muhajir dan nasab mulianya

Sebagian penulis mengangkat tajuk pada tulisan mereka mengenai nasab Ahlu Bait Nabi Muhammad SAW, banyak diantara mereka yang menanamkan keraguan tentang Ahlu bait, motivasi mereka untuk mengangkat tema itu bermacam-macam diantara mereka ada yang hanya ingin mendapatkan pencerahan sehingga lebih meyakinkan mereka, ada pula diantara mereka yang ingin menjatuhkan Ahlu bait karena iri dan dengki terhadap mereka.

Berangkat dari kenyataan ini Al Imam Al Muhajir sebelum berangkat ke Hadhramaut telah menyusun nasabnya dan anak-anaknya smapai Rasulullah SAW, sebelumnya keluarga Al Muhajir nasab dan silsilahnya sudah terkenal di kota Bashrah, seandainya bukan begitu ini merupakan titik lemah yang bisa digunakan oleh Khawarij untuk menumbangkan dalill-dalil Al Muhajir.

Sepeninggal Al Imam Al Muhajir beberapa orang ulama Hadhramaut berinisiatif untuk mencari bukti yang membenarkan nasab Al Imam Al Muhajir, Syeh Ba Makhramah dalam kitab tarikh nya mengatakan: Ahmad bin Isa ketika datang di Hadhramaut, penduduk kota itu mengakui kemulyaan dan keagungannya, lantas mereka ingin membuktikan pengakuan mereka lantas 300 orang mufti di Tarim pada saat itu mengutus seorang ahli hadist Al Imam Ali bin Muhammad bin Jadid ke Iraq untuk membuktikan hal tersebut, lantas sang imam pulang dengan membawa nasab mulia Al Muhajir.

Saiyid Alwi bin Thohir membeberkan masalah ini di salah satu artikelnya yang di muat di majalah Rabithah Alawiyah(2/3:95M) dan mengatakan, kemulayaan Al Muhajir, keberadaan famili dan handai taulannya di Bashrah, tinggalnya Muhammad putra Al Muhajir di bashrah untuk menjaga harta bendanya, dan putra putri Ali, hasan, dan Husain, kedatangan Saiyid Jadid bin Abdullah untuk melihat harta benda itu, kesaksian penduduk Iraq akan kebenaran nasab Al Muhajir dan pengembangan harta Al Muhajir dari Iraq oleh anak cucunya di Hadhramaut, adanya saudara dan ipar Al Muhajir di Iraq, adanya hubungan yang continyu diantara mereka, adanya kabilah Bani Ahdal dan Bani Qudaim di Yaman, ini semua merupakan bukti akan kebenaran nasab Al Muhajir, tidaklah mudah bagi Saiyid Ali Bin Muhammad bin Jadid untuk mendapatkan bukti ini sepeninggal kakek-kakenya selama bertahun-tahun bila nasab tersebut tidak terkenal di Bashrah, karena Ali dilahirkan di Hadhramaut bergitu juga Ayahnya Muhammad bin Jadid, akan tetapi hubungan antara mereka dengan keluarga yang di Iraq setelah kepergian mereka tidak putus.

Diantara para penulis yang mengulas luas tentang nasab Al Muhajir da puta-putra nya adalah:

1. Al Majdi, Al Mabsuth, Al Masyjar, yang ditulis oleh Ahli nasab, Abu Hasan Najm Al Diin Ali bin Abi Al Ghanim Muhammad bin Ali Al Umri Al Bashri, meninggal tahun 443.
2. Tahdhib Al Ansaab, Tulisan tangan Al Allamah Muhammad bin Ja'far Al Ubaidli, meninggal tahun 435.
3. Umdatu Al Thalib Al Kubra, ditulis oleh ahli nasab Al Allamah Ibn Anbah Jamal Al Diin Ahmad bin Ali bin Husain bin Ali bin mihna Al Dawudi.
4. Al Nafhah Al Anbariyah Fi Ansab Khairil Briyah, ditulis oleh Al Allamah Ibn Abi Al Fatuh Abi Fudhail Muhammad Al Kadhimi, meninggal tahun 859.
5. Tuhfatu Al Thalib Bi Ma'rifati Man Yantasib Ilaa Abdillah Wa Abii Thalib, ditulis oleh Al Allamah Al Muarrikh Abi Abdillah Muhammad bin Al Husain Al Samarqandi Al Makky, meninggal tahun 996.
6. Zahru Al Riyadh Wa Zalalu Al Hiyaadl, ditulis oleh Al Allamah Dlamin bin Syadqam, meninggal tahun 1085.

Ibn Anbah dan AL Imam Al Murtadla memiliki dua kitab berbeda tentang nasab ini dan belum dicetak, adapun kitab yang ditulis secara modern tentang nasab Ahlu bait antara lain Dirasaat Haula Ansaab Alu bait oleh Saggaf bin Al Alkaff., Tazwiid Al Rawi oleh Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Syathiri. Jadi permasalahannya sekarang bukan karena kurangnya literature atau referensi tapi karena hilangnya prinsip amanah dan hantaman dari para pengkhiyanat, juga karena kurangnya tingkat pengetahuan syariah sebagian Ahlu bait dan terpengaruhnya mereka oleh budaya orientalist, yang terus merongrong zona islam.

Abdullah bin Nuh di tambahannya untuk kitab Al Muhajir mengatakan: Ahmad Al Muhajir adalah sosok yang sangat dermawan, berwibawa, berilmu dan senang menyantuni yang lain, kakeknya Muhammad bin Ali adalah putra bungsu ayahnya, lahir di Madinah Al Munawarah kemudian pindah ke Bashrah dan meninggal disana pada tahun 203, kakek Al Muhajir Ali Al Uraidli bin Imam Jakfar Al Shadiq, dinamakan al Uraidli karena dilahirkan di Al Uraidl suatu daerah berjarak 4 mil dari madinah, kakek AL Muhajir merupakan putra bungsu Ayahnya ditinggal mati ayahnya pada saat dia masih kecil lantas berhijrah bersama sudaranya Muhammad bin Ja'far ke Makkah ketika kakaknya melakukan gerrakan disana, dan berhijrah bersama Muhammad bin Muhammad bin Zaid ketika dia memimpin gerakannya di Iraq, lantas ke Khurasan kemudian Bashrah, penduduk Kufah mengundang beliau untuk singgah di sana, lantas beliau berangkat kesana dan tinggal disana beberapa waktu, ketika itu paenduduk Kufah benyak mengambil faidah dari keberadaan beliau, meninggal tahu 210 .

Para ahli sejarah sepakat untuk menjuluki Ahmad bin Isa dengan julukan Al Muhajir semenjak beliau hijra dari Iraq ke Hijaz yang kemudian menetap di Hadhramaut, Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Syathiri dalam kitab "Al Adwar" menuturkan, sebab penjulukan Ahmad bin Isa dengan Al Muhajir karena dia Hijrah dari Bashrah ke Hadhramaut dengan sebab perbaikan, terutama jaminan keselamatan agamanya dan agama para pengikutnya, dan hijrah yang semacam ini bukan termasuk hijrah Bid'ah, karena hijrah semacamini sudah biasa dilakukan olah keluarga Nabi SAW, dimulai dari hijrah beliau dari Makkah ke Madinah yang kemudian diikuti oleh Al Imam Ali bin Abi Thalib ketika berhijrah ke Iraq Dari Hijaz, dan anak turunnya seperti Al Imam Husain bin Ali, Al Imam Zaid bin Ali bin Husain, Muhammad bin Nafs Al Zakiyah bin Abdullah Al Mahdh bin Al Husain Al Muthanna bin Al Hasan Al Sabt dan kedua saudaranya Ibrahim dan Idris moyang Bani Adarisah di Maghrib, dan lain-lain.(Al Adwar)(1:156)

Al Syarif Muhammad bin Sulaiman bin Abdullah bin Isa bin Alawi bin Muhammad bin Hamham bin Aun bin Al Imam Musa Al Kadhim bin Ja'far Al Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Al Uraidli.

Demikian disebutkan Sayyid Ali bin Al Husain Al Ahdal dalam kitab Bughyatu Al Thalib Li Ma'rifati Awlaad Ali bin Abi Thalib, Al Ahdal adalah julukan yang diambil dari kata Al Adna yang berarti terdekat, keturunan Bani Ahdal berkembang di Yaman Utara.

Sebagian kitab tentang nasab menyebutkan nasab Bani Al Qudaimi diantaranya Al Sirah Al Mustafawiyah Wal Ansab Al fathimiyah yang ditulis oleh Al Allamah Saiyid Alawi bin Abdul ARhman Al Saggaf AL Al Makky, disebutkan Anak turun Husain di laembah Sardad dan sekitarnya Bani Qudaimi, Bani Al Syajar, Bani Ahmad, Bani Wali, Bani Sufi, Bani Ismail, Bani Arab, Bani Al Jarufi, Bani Al Shiddiq, Bani Al Bahr, Bani AL Thalj, Bani Al Syah. Ke 13 kabilah ini keturunan Hasan bin Yusuf bin Hasan bin Yusuf bin Hasan bin Yahya bin Salim bin Abdullah bin Husain bin Ali bin Adam bin Idris bin Husain bin Muhammad Al Jawad bin Ali Al Ridla bin Musa Al Kadhim bin Ja'far Al Shadiq.

Jalur ini dinamakan jalur Zubaidah, dinamakan Zubaidah yang mana dia adalah istri Haru Al Rasyid karena dia mengeluarkan banyak biaya demi untuk perbaikan dan pengamanan jalur ini pada tahun 90, kemudian jalur ini rusak setelah masa Khalifah Al Mutawakkil.

Karamithah mengambil Hajar Aswad dan dibawa ke Hajar, kemudian dikembalikan lagi setelah kurang lebih 22 tahun, selama itu tempat Hajar Aswad kosong, mereka mengatakan kami ambil Hajara Aswad dengan kekuasaan Allah dan kami kembalikan lagi dengan kehendak Allah.

Pencari kebenaran muncul bersama sekelompok orang Khawarij pada saat itu, mereeka menyapu Hadharamaut dan sekelilingnya, menguasai Sana'a, menggempur kota Makkah, dan berperang dengan Bani Umaiyah samapi habisnya perlawanan Khawarij, saat itu terbunuh A'war dan beberapa pengikutnya yang kemudian kepala mereka dikeler ke Damaskus pada tahun 130, akan tetapi fitnaj mereka belum selesai juga.

Di sebutkan dalam kitab Al Muhajir, Moyang Bani Ahdal sampai di Yaman, beliau adalah Muhammad bin Sulaiman, lantas beliau tinggal di desa Murawa'ah dekat dengan Baitul Faqih, anak cucunya berkembang samapai diantara mereka ada yang tinggal di lembah Sahm, Fakhriyah, Zabid, Abyat Husain , dan diantara mereka juga ada yang hijrah ke Hadhramaut.

Hajren termasuk pusat pedesaan Shadaf, yang mana pedesaan ini memanjang di pertengahan lembah Doan sampai daerah Andal, Al Ahrum, dan sampai dekat Sadbah.

Sebuah desa diantara Tarim dan Seiyun, dan merupakan desa yang makmur beliau membeli sebagian besar tanah di daerah Suh, daerah ini merupakan benteng yang terkenal didalamnya terdapat sumur yang terletak diatas kota Bur, sumur ini digali oleh Saiyid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir dan di pagari dengan bebatuan besar disetiap batu di ukur nama beliau.

Al Husyaisyah sekarang tak berpenduduk dan rusak diceritakan bahwa rusaknya Al Husyaisyah ditangan Agil bin Isa Al Shabirati tahun 839.

Saiyid Al Syathiri menukil dari Saiyid Al Allamah Abdullah bin Muhammad Al Saqqaf dalam komentar beliau untuk kitab Rihlatul Asywaaq Al Qawiyyah karangan Ba Kathir, di sebutkan didalamnya terjadinya bentrok senjata diantara mereka, kemudian dikatakan : sebuah pertempuran terjadi di Buhran ketika Al Muhajir masih tinggal di Al Hajrain ketika itu kekuasaan Abadliyah runtuh, setelah itu Al Muhajir pindah dari Al Hajrain menuju kampung Bani Jusyair, lantas Al Syatiri mengatakan: akan tetapi saya telephon Al Saqqaf dan memintanya untuk menyebutkan referensi pendapatnya, namun dia tidak menjawab. Sebagian orang menisbatkan pendapat ini kepada Al Marhum Ahmad bin Hasan Al Attas, dan belum diketahui referensi aslinya, Muhammad bin Aqil bin Yahya mengatakan di komentarnya atas kitab Diwan Ibn Syihab , bahwa Al Muhajir dan anak cucunya nya sampai abad ke 6 H memerangi kaum Abadhiyah kemudian mereka melepaskan senjata, tapi belum diketahui referensinya, boleh jadi mereka mengambil kesimpulan bahwa Bani Alawiyin selalu menggunakan senjata untuk perang dan grilya, tapi pendapat semacam ini tidak bisa langsung diterima tanpa ada bukti tertulis, karena bersenjata barang kali itu hanya tradisi atau untuk membela diri semata.(Al Adwar 150;1)

Bahran adalah padang pasir terletak diantara Al Hajrain dan desa Sadbah, peduduknya dari Kabilah Kindah.

Sebagian orang menganggap kata kata (ingin membuktikan) adalah peraguan atas nasab Al Muhajir, tapi betapapun kata yang di gunakan penulis hal itu tidak mengandung penafian ataupun pembuktian, sebagaimana yang dilontarkan sebagian orang.

Beliau adalah Saiyid Ahmad Al Muhajir bin Isa Al Naqieb bin Muhammad bin Ali Al Uraidli bin Ja'far Al Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Imam Al Husain Al Sibth bin Al Imam Ali bin Abi Thalib dan Fatima Al Zahra Putri Nabi Muhammad SAW.

Wafat Al Imam Al Muhajir

Setelah perjuangan yang tanpa mengenal lelah dan penuh kesabaran Al Imam Al Muhajir berhasil menanamkan metode Da'wah ila Allah dengan cara khusus beliau, dan berhasil pula menanamkan paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Hadhramaut, akhirnya Al Muhajir berpulang kehadirat Allah SWT pada tahun 435 H, dan di makamkan di Al Husyaisyiah tepatnya di Syi'b Makhdam, dan dapat diziarahi sampai hari ini.

Dimakamkan pula disekitar Kuba Al Muhajir Saiyid Al Allamah Ahmad Al Habsyi, dahulu diadakan setiap tahunnya peringatan masuknya Al Imam Al Muhajir ke Hadhramaut kemudian peringatan ini sempat terputus, lalu diadakan lagi namun dalam bentuk lebih terbatas, dan pada tahun 1422H ditambahkan beberapa peringatan yang sesuai dengan zaman, seperti seminar tentang samapainya Al Imam Al Muhajir di Hadhramaut, yang diisi didalamnya dengan study tentang sosok Al Muhajir, sejarah, ilmu, dan pengaruh perpindahannya ke Hadhramaut dalam kuliah-kuliah yang diadakan di Tarim dan Seiwun.
sumber:www.pp-dalwa.org

HABIB MUHAMMAD SHAHIB MIRBATH

Habib Muhammad Shahib Mirbath
 
Kelahiran
 
Beliau ialah ulama zuhud dan tawadu', penuh keteladanan dan akhlak mulia, suka menolong serta dermawan. Sebagian jalur habaib, terutama Ba’alawi, adalah keturunannya.
Di Mirbath, Oman Selatan, ada seorang ulama besar yang terkenal dermawan, suka menyantuni fakir miskin, dan rumahnya terbuka bagi siapa saja. Nama lengkapnya Habib Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi al-Alawiyin bin Ubaydillah bin Ahmad al-Muhajir. Ia menghabiskan sebagian besar umurnya di Mirbath, di kawasan Dhofar, Kesultanan Oman Selatan (yang kini bernama Salalah), setelah hijrah dari kota kelahirannya, Tarim, Hadramaut. Setelah menetap di Mirbath, pengaruh ulama ini cukup besar, sehingga mendapat gelar Shahib Mirbath.
Sejak kecil, ia dididik oleh ayahandanya, Ali Khali’ Qasam, dengan pendidikan agama, termasuk memperdalam dan menghafal Al-Quran. Menjelang dewasa ia merantau ke berbagai tempat untuk menimba ilmu dan mencari pengalaman. Setelah merasa cukup, belakangan ia mengabdikan ilmunya – seperti syariat, tasawuf, dan bahasa Arab – di Hadramaut, sebelum tiba saatnya hijrah ke Mirbath. Di Hadramaut maupun Oman, namanya termasyhur, bahkan dikenal sebagai wali, terutama lantaran akhlaknya yang mulia, perilakunya yang istikamah, lapang dada, dengan wawasan keagamaan yang luas.
Selain sebagai mubaligh, ia juga dikenal dermawan, suka membantu orang yang membutuhkan, dan berkorban harta bagi kepentingan umum. Rumahnya di Mirbath senantiasa terbuka bagi para tamu dari segala lapisan, mulai dari ulama, politikus, sampai orang biasa, dari perbagai penjuru. Ia memang sangat dekat dengan masyarakat.
Bukan hanya itu, ia juga suka menyantuni keluarga yang tidak mampu. Tak kurang dari 120 kepala keluarga menerima santunannya setiap bulan secara rutin. Ia juga suka membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Setiap tamu yang datang ke rumahnya selalu ia jamu dengan penuh penghormatan.
Ia juga seorang pengusaha besar. Bisnisnya meliputi bidang pertanian, peternakan ayam, dan berbagai usaha yang berhubungan dengan hajat orang banyak. Tanahnya di Bait Jubair cukup luas dan subur. Hasil ladang pertaniannya luar biasa banyak. Salah satu ladangnya di Bait Jubair dalam satu musim pernah menghasilkan sekitar 40 kuintal gandum.
Salah satu keistimewaannya ialah suka bepergian ke berbagai tempat. Hampir semua tempat telah ia kunjungi. Setiap kali ia berkunjung ke sebuah desa selalu disambut beramai-ramai oleh penduduk setempat. Ia memang sangat terkenal dan berpengaruh di kalangan rakyat kecil.
Pada awal abad kelima Hijriah ia pindah dari Tarim ke Mirbath, dan selanjutnya bermukim di sana sampai akhir hayatnya. Sejak ia tinggal di Mirbath, banyak orang yang mengunjunginya. Bukan sekadar bersilaturahmi, tapi juga menimba ilmu agama. Maka dengan senang hati ia berdakwah dan mengajar.

Kesibukannya menerima tamu dan mengajar tak mengurangi aktivitasnya beriktikaf, yang sering ia lakukan di berbagai masjid, terutama di Masjid Jami’ Mirbath. Masjid ini memang sengaja ia bangun khusus untuk masyarakat sekitar Mirbath. Di sana pula, ia mengajar dan berdakwah, selain beriktikaf.
Penduduk Mirbath sangat menghormatinya, terutama karena pribadinya yang penuh dengan keteladanan dan berwibawa. Tutur katanya lembut dan menarik, akhlaknya mulia dan sangat memesona. Selain bertakwa, hidupnya juga warak dan zuhud. Sebagaimana ditulis oleh Sayid Muhammad dalam kitab Al-Masyrau’r Rawy, tingkat keulamaan Shahib Mirbath telah mencapai Syaikhul Masyayikhil Islam (guru besar luar biasa dalam bidang ilmu agama Islam) dan ‘Ilmul-ulama al-A’lam (sumber ilmu para ulama). Dapat disimpulkan, kehadiran Shahib Mirbath di Mirbath banyak memberi manfaat bagi penduduk sekitarnya.
Shahib Mirbath dikaruniai empat orang anak lelaki: Abdullah, Ahmad, Alwi, dan Ali. Dari merekalah di kemudian hari berkembang cikal bakal keluarga besar Ba’alawi.
Putra pertama, Abdullah, menurut sumber-sumber sejarah, antara lain dalam kitab Al-Madkhal karya Sayid Alwi ibnu Thahir Alhadad, mempunyai keturunan yang kemudian menjadi pelopor dakwah di Asia Tenggara.
Putra kedua, Ahmad, mempunyai seorang putri bernama Zainab, yang dijuluki Ummul Fuqara’, istri Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad ibnu Shahib Mirbath.
Putra ketiga, Alwi Ammul Faqih, adalah sumber pertalian darah beberapa habib, seperti Alhadad, Aidid, ibn Smith.
Putra keempat, Ali, ia adalah ayah Al-Faqih Al-Muqaddam.
Dari merekalah kemudian keturunan Bani Alawiyin berkembang menjadi lebih kurang 75 leluhur, di samping leluhur Alawiyin lainnya dari keturunan Al-Imam Alwi Ammil Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath, yang akhirnya beranak-pinak menjadi lebih kurang 16 leluhur.
Adapun Ba’alawi adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Cucu Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang bernama Alawi adalah orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh karena itu anak-cucu Alawi mendapat gelar Ba’alawi, yang bermakna “Keturunan Alawi”. Panggilan Ba’alawi juga bertujuan memisahkan kelompok keluarga ini dari cabang-cabang keluarga lain yang berketurunan dari Rasulullah SAW. Ba‘alawi juga dikenal dengan panggilan Sayid.
Shahib Mirbath telah berhasil mendidik kader-kader ulama sehingga menjadi ulama-ulama besar. Selain keempat putranya sendiri, ada beberapa ulama lain hasil didikannya, seperti Syekh Muhammad bin Ali (yang dimakamkan di kota Sihr), Syekh Al-Imam Ali bin Abdullah Adh-Dhafariyin, Syekh Salim bin Fadhl, Syekh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khatib.
Dari sinilah di kemudian hari muncul beberapa generasi yang melancarkan dakwah ke seantero negeri. Dalam salah satu bait dari sebuah syairnya yang indah, Habib Abdullah bin Alwi Alhadad melukiskannya, “Penghuni Mirbath (adalah) seorang imam, pusat bermuaranya keturunannya, (yang kemudian menjadi) para ahli dakwah.”
 
Wafatnya Shahib Marbath
 
Shahib Marbath wafat pada 556 H/1136 M, dan dimakamkan di desa yang dicintainya, Mirbath.
(Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawi karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawi)

SHEIKH AL FAQIH MUQODDAM AL IMAM MUHAMMAD BIN ALI BAALAWY

Sheikh Al Faqih Muqodam Al Imam Al Habib Muhammad bin Ali Ba’alawy

Kelahiran
Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Ali bin Abi Thalib/Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW.

Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang faqih yang diunggulkan).

Beliau adalah al-’arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam dan guru, suri tauladan bagi al-’arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin, seorang qutub yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah, seorang yang mendapatkan kewalian rabbani dan karomah yang luar biasa, seorang yang mempunyai jiwa yang bersih dan perjalanan hidupnya terukir dengan indah.

Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT, sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah lagi Allah memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu, baik yang dhohir ataupun yang bathin.

Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah Al-Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami At-Tarimi. Al-Imam Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung, pemuka para ulama besar di kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid (pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya itu, yakni Al-Imam Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali kalau Al-Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya, diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani, As-Sayyid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib, Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath (paman beliau) dan masih banyak lagi.

Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari orangtua dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari kakeknya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Adapun jalur yang kedua, beliau mengambil dari seorang ulama besar dan pemuka ahli sufi, yaitu Sayyidina Asy-Syeikh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua orang murid Asy-Syeikh Abu Madyan, yaitu Abdurrahman Al-Maq’ad Al-Maghrobi dan Abdullah Ash-Sholeh Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan mengambil dari gurunya, gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan penuh kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, serta mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan para Salafus Sholeh. Beliau ber-mujahadah dengan keras dalam mendidik akhlaknya dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai dengan syariah.

Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli ulama-ulama di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para ulama di jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya dalam berbagai macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan yang ada pada diri beliau untuk menyandang sebagai imam di jamannya.

Mujahadah Beliau
Pertumbuhannya bagaikan mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-’arif billah. Allah-lah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam diri beliau. Allah-lah juga yang mengaruniai beliau berbagai macam keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan oleh para qutub yang lainnya. Hati beliau tidak pernah kosong sedetikpun untuk selalu berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak pada diri beliau asrar, waridad, mawahib dan mukasyafah.

Beliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di setiap keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang pemuka para ahli sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa’ad bin Ali Adz-Dzofari. Setelah Asy-Syeikh Sa’ad membaca surat itu dan merasakan kedalaman isi suratnya, ia terkagum-kagum dan merasakan asrar dan anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia membalas surat tersebut, dan di akhir suratnya ia berkata, “Engkau, wahai Faqih, orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh siapapun. Engkau adalah orang yang paling mengerti dengan syariah dan haqiqah, baik yang dhohir maupun yang bathin.”

Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri Al-Faqih Al-Muqaddam, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu kalam yang lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali, kecuali kalamnya para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat mengunggulkan seorang wali pun terhadapnya (Al-Faqih Al-Muqaddam), kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau orang yang diberikan kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau selainnya.”
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, “Aku terhadap masyakaratku seperti awan.” Suatu hari dikisahkan bahwa beliau pernah tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis salam. Beliau berkisah, “Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat yang beratap tinggi. Tiba-tiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku sambil membungkukkan badannya agar tak terkena atap. Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Syeikh, jika engkau tidak berziarah kepadaku, maka aku akan berziarah kepadamu.’”

Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis salam menyerupai seorang badui dan diatas kepalanya terdapat kotoran. Bangunlah Al-Faqih Al-Muqaddam, lalu mengambil kotoran tersebut dari kepalanya dan kemudian memakannya. Kejadian tersebut membuat para sahabatnya terheran-heran. Akhirnya mereka bertanya, “Siapakah orang itu?.” Maka Al-Faqih Al-Muqaddam menjawab, “Dia adalah Nabi Khidir alaihis salam.”

Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar di jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau. Yang paling terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad ‘Ibad dan Asy-Syeikh Sa’id bin Umar Balhaf. Selain keduanya, banyak juga ulama-ulama besar yang berhasil digembleng oleh beliau, diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir Abdullah Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Ibad, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh Sa’ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara sepupunya, dan masih banyak lagi.

Wafatnya Al Faqih Muqoddam
Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau. Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad dan Ali.

Al – Habib Muhammad bin Ali Ba ‘Alawy  memiliki keturunan yang menyebar di seluruh Indonesia, yaitu dari kalangan para Sayid dan Habaib. dan di kota Tuban juga masih banyak keturunan dari al – Habib Muhammad bin Ali ba’alawy.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum 'Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah:

IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.

SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat 'Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq'ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan 'Alawi.
Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da'i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.
Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma.
Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai al-mujtahid al-mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.
Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.
Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba'alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.

HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum 'Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan Al-Qadri di di kepulauan Komoro dan Pontianak, Al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.
Tokoh utama 'Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku.
Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum 'Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar.
Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa "Alawiyin" atau " qabilah Ba'alawi" dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawy digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawy) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawy hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwy bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan "Alawiyin" diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul. Alwi bin Ubaidillah mempunyai anak Muhammad. Muhammad bin Alwi mempunyai anak Alwi. Alwi mempunyai anak Ali (Kholi' Qasam).
Ali diberi laqob "Kholi' Qasam" sebagai nisbah kepada negeri al-Qasam yang merupakan tempat mereka di negeri Bashrah, di mana dari tempat itu ia mendapat harta dan membeli tanah di dekat kota Tarim di Hadramaut dengan harga 20.000 dinar dan ditanaminya pohon kurma untuk mengenang kota Qasam di Bashrah yang tadinya dimiliki oleh kakeknya al-Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan tanah yang luas di sana di dekat teluk Arab dan penuh dengan kurma pada masa itu. Menurut sejarah, Ali Kholi' Qasam waliyullah yang pertama kali di makamkan di perkuburan Zanbal Hadramaut dan salah satu kewalian beliau jika memberi salam kepada Rasulullah baik dalam keadaan shalat atau dalam keadaan lain, Rasulullah langsung menjawab salamnya. Ali Khali' Qasam mempunyai tiga orang anak: Abdullah, Husin dan Muhammad. Tetapi yang tetap meneruskan keturunannya adalah dari Muhammad yang dikenal dengan sebutan " Shahib Marbath ".
Dari keturunan Imam Alwiy bin Ubaidillah muncul sejumlah 'ulama-auliya, mereka mengkhususkan perhatian hanya kepada dakwah mengajak manusia kembali kepada kebenaran Allah SWT. Setiap orang dari mereka mempunyai sanad (sandaran) yang bersambung ke Rasulullah SAW.
Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy)