3/25/2009

IMAM GHOZALI



IMAM GHOZALI FIGUR YANG MENGHIDUPKAN
ILMU-ILMU AGAMA
Bagian I

Kelahiran

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Gelarnya adalah Hujjatul Islam Zainudin Ath-Thusi. Ketika kaum muslimin tengah di landa keraguan dan saling curiga ,pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1057 M di desa Ghazalah kota Thus, Iran,lahirnya seorang anak yang dikemudian hari akan tumbuh menjadi seorang iman besar yang dapat menautkan kembali segala perpecahan diantara umat Islam dan mempersatukan mereka. Dialah Al-Ghazali.
Seorang hamba pilihan yang merupakan salah satu bagian dari kebajikan yang di hamparkan Allah SWT di muka bumi ini. Ia ibarat sebuah pelita yang menerangi dunia islam yang saat itu mulai pudar. Dengan semakin berkembangnya cara berpikir manusia, umat islam menjadi terpecah belah dan dalam agama islam berkembang berbagai macam aliran. Melalui Imam Ghazali Allah SWT menyatukan lagi umat islam dalam satu wadah kepercayaan mutlak terhadap sang Maha Pencipta.
Beliau mendapat nama sebutan Al-Ghazali sesuai dengan nama tempat kelahirannya yaitu Ghazalah. Ia lahir di tengah keluarga yang taat beragama. Ayahnya seorang shalih dan senang bersedekah. Ia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di toko.
Ketika merasakan ajalnya telah dekat. Ia menitipkan kedua anaknya al-Ghazali dan adiknya, Ahmad kepada sahabat karibnya, seorang sufi yang dermawan. Ia berkata kepada sahabat karibnya, “saya sungguh menyesal sekali atas banyaknya ilmu yang belum aku pelajari. Oleh karena itu aku ingin kedua anakku memperoleh apa yang dulu tidak kudapatkan. Jadi ajarilah mereka dan engkau boleh menggunakan semua peninggalanku untuk mereka.”
”Ketika ia meninggal dunia, sahabat karibnya mulai mengajari kedua anaknya dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya habislah peninggalan orang tua kedua anak itu yang memang dikit jumlahnya. Dan ia kesulitan untuk membiayai mereka atau memberikan kebutuhan makan mereka, “ Ketahuilah, aku telah menafkahkan untuk kalian apa yang telah menjadi milik kalian. Oleh karena itu, masuklah kesebuah madrasah karena kalian termasuk para penuntut ilmu. Dengan cara itu kalian akan meperoleh bekal yang dapat mencukupi kebutuhan kalian”.
Mereka berdua menuruti nasehat itu dan masuklah mereka di madrasah yang memang menyediakan beasiswa bagi para penuntut ilmu yang tidak mampu. Atas hal itu Al-Ghazali menuturkan,” Kami pernah mencari ilmu tidak karena Allah, tetapi ilmu itu malah mendorong kami untuk belajar karena Allah”.
Ayah Al-Ghazali sering menemui para ulama dan berkumpul bersama mereka berkhidmad dan memberikan infaq kepada mereka semampunya. Apabila ia mendengar ucapan mereka ia menangis dan menunduk. Ia memohon kepada Allah agar di beri anak yang sholeh dan menjadi alim seperti mereka. Akhirnya Allah mengabulkan doanya . Kedua anaknya menjadi ulama yang shalih yang mengamalkan amalnya dengan istiqomah. Al-Ghazali terkenal paling cerdas di antara kawan-kawannya dan pemuka para ulama sezamannya. Sementara adiknya yang Ahmad adalah seoarang penceramah yang ikhlas. Bebatuan seakan menjadi lunak ketika mendengar peringatannya dan para hadirin pun khusyu’ dan menangis di majelis dzikirnya.

Mencari Ilmu dan Dakwah

Pada masa kecilnya Al-Ghazali belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzkani, seorang ulama besar di dusun kelahirannya. Pada masa-masa belajarnya itu ia pergunakan waktu dengan sebaik-baiknya, berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai semua materi pelajarannya, ia mencatat semua ucapan gurunya.
Kemudian setelah ia menguasai banyak ilmu dari gurunya, ia pergi ke Jurjan untuk belajar kepada ulama besar yang bernama Abu Nashr Ismail. Lalu ia melanjutkan pengembaraannya ke Naisabur. Di situ ia mempelajari banyak cabang ilmu dari seorang ulama tersohor dengan julukan Imam Al-Haramain yaitu Abdul Ma’ali Al-Juwaini. Ia belajar dengan sungguh –sungguh hingga menguasai seluk beluk madzhab, Ikhtilaf, perdebatan dan logika. Di sana dia juga belajar tasawwuf kepada Syaikh Abu Ali Al Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali Farmadi. Ia pun mempelajari mantik dan filsafat serta menguasai pendapat para pakar dalam bidang ilmu-ilmu tersebut, sehingga ia dapat menentang dan menyanggah pendapat-pendapat mereka yang mempengaruhi masyarakat Islam.

Keutamaan dan Karamah

Pada suatu hari ketika ia keluar dengan tujuan memperdalam ilmu agamanya pada seorang ulama di luar jam pelajaran, tiba-tiba muncullah beberapa perampok bersenjata tajam menghentikan langkah Al-Ghazali. Dengan kasar salah seorang perampok merebut bungkusan yang di bawa Al-Ghazali. Maka berhamburkanlah isi bungkusan tersebut yang tak lain adalah kitab-kitab pelajaran dan buku-buku catatannya. Para perampok itu heran, mereka mengira bungkusan tersebut berisi uang dan pakaian.
“Hai anak muda, hanya inikah kepunyaanmu? ”Tanya kepala perampok. “Bagaimana menurutmu seandainya semua buku pelajaranmu ini ku ambil? maka sudah pasti kamu menjadi orang bodoh. Karena kamu masih mengandalkan buku dan catatan. Pelajaran seharusnya di simpan di kepala bukan di dalam buku,” lanjutnya. Kemudian para perampok itu pergi meninggalkan Al-Ghazali yang sedang memunguti
kitab-kitab dan buku catatannya sambil merenungi cemoohan kepala perampok tersebut. Ia sadar bahwa selama ini ia lebih mengandalkan buku dan catatan dari pada hafalan. Semua ucapan perampok tersebut yang nadanya mencemooh bagi Al-Ghazali justru merupakan nasehat penting dan hikmah serta berkah yang tak ternilai harganya.
Sejak peristiwa itu Al-Ghazali semakin rajin menghafal. Satu persatu pelajaran yang asalnya merupakan tulisan kini telah pindah dan tertanam dalam otak dan hati sanubari Al-Ghazali.
Di Naisabur intelektualitas Al-Ghazali mulai bersinar ia tidak hanya berguru, tapi juga mulai mengajar dan aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus. Setelah gurunya imam Al Haramain wafat, ia meninggalkan Naisabur menuju Al-Askar dan bertemu dengan perdana menteri Nidzham Al-Malik. Disitu ia sering berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka di dalam majelis. Mereka mengagumi pendapat-pendapatnya dan mengakui keutamaannya. Para ulama selalu menyambutnya dengan ta’dzhim. Pada tahun 484 H/1068 M, ia dipercaya untuk mengajar di perguruan tinggi An-Nidzhomiyah di Baghdad. Inilah yang mengantarkannya kepada kedudukan mulia. Ia didatangi banyak orang di majelisnya, didengar ucapannya, dan dihormati, sehingga ia dapat mengalahkan kemuliaan para pemimpin dan perdana menteri.
Semua orang ta’jub akan keindahan tutur katanya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya dan keakuratan isyaratnya. Ia mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran, pemberian fatwa, dan menulis. Ia memiliki kedudukan mulia dan menduduki posisi yang tinggi, sehingga dikatakan bahwa majelis Imam Al-Ghazali konon dihadiri 300 ulama besar.
Ucapannya didengar dimana-mana, ia terkenal namanya. Ia menjadi teladan dan mereka mencintainya. Namun Al-Ghazali mengabaikan semua penghormatan itu karena khawatir dirinya tidak ikhlas karena Allah. Ia merasakan kegelisahan didalam jiwanya. Kesenangan hidup yang melimpah malah membuatnya sakit, dirinya terombang –ambing mencari kebenaran yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi. Guncangan jiwa itu dimulai ketika nalarnya bertanya-tanya, apakah sebenarnya ilmu yang hakiki itu, apakah dapat dicapai dengan panca indra atau dengan akal? Untuk mengedepankan gejolak hatinya, Al-Ghazali sempat menghentikan seluruh aktifitasnya. Sampai akhirnya cahaya Allah menerangi hati, jiwa dan raganya, sehingga ia mampu keluar dari keraguan. Tasawuf itulah jalan baru yang dianggapnya tepat untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mengusik hatinya seperti yang ditulis pada kitabnya Ihya Ulumuddin.

Perjalanan Spiritual

Kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan segala kemewaham dan ketenarannya menuju Damaskus, Syiria, untuk menemukan ketenangan dan kesejatian hidup. Ia menjalani kehidupan zuhud, riyadhat, mujahadah, membersihkan diri dan menyucikan hati dengan dzikir kepada Allah SWT. Ia ber’itikaf memperbanyak ibadah di menara masjid Umawi. Tak lama kemudian ia hijrah ke Palestina sengaja hendak berkhalwat di Qubbatus Sakhrah. Bermunajat kepada Allah SWT, semua pintu kubah dikunci hingga tak ada satupun dapat mengganggunya. Kemudian ia berziarah ke Makam Nabi Ibrahim AS lalu menuju Hijaz untuk beribadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW.
Selama di perjalanan itu, dirinya lebih menjauhi dunia, memakai pakaian seadanya, sedikit makan dan minum, memerangi hawa nafsunya, bermujahadah seperti yang dilakukan orang shalih terdahulu dan memperbanyak barbagai macam ibadah dan ketaatan. Ditengah-tengah itu ia mengarang kitab Ihya Ulumuddin sebagai hasil dari perenungannya, mujahadahnya dan berdzikirnya kepada Allah SWT. setelah itu ia pergi ke Iskandariyah, Mesir. Tidak lama kemudian ia diminta kembali memimpin perguruan An –Nidzomiyyah. Maka kembalilah ia ke Baghdad.Namun karena hatinya sudah penuh kecintaan kepada Allah dan menjauhi dunia, ia tidak betah tinggal lama di kota yang penuh gemerlap itu. Kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah sebagai lembaga untuk memperdalam ilmu agama khususnya tasawwuf. Ia membagi waktunya untuk menghatamkan Al-Quran, berdiskusi dengan ulama lain, memberi nasehat dan petunjuk pada orang lain sambil terus bermujahadah melaksanakan sholat sunnah, puasa dan ibadah lainya.

Wafatnya Imam Ghazali

Beliau wafat di kota Thus pada hari Senin, pada Jumadil Akhir 505 H/1111 M, pada usia 55 tahun. Abu Al-Faraj Al-Jauzi dalam kitabnya Ats-Tsabat’indal mamat, mengatakan bahwa adik Imam Al-Ghazali, Ahmad berkata, “ pada hari Senin subuh kakakku Al-Ghazali berwudhu dan sholat ,lalu berkata, ambilkan untukku kain kafan. Ia berkata “Aku mendengar dan aku taat untuk menemui Al-Malik.” Kemudian ia menjulurkan kakinya dan menghadap qiblat. Tak lama ia meninggal dunia menjelang matahari terbenam. Semoga Allah SWT menyucikan ruh beliau dan Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.

IMAM SYAFI'I


Imam Syafi’I Pembela Ahlussunnah Wal Jamaah

Kelahiran

Beliau dilahirkan pada tahun 150 H, Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin
‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya.
Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana.
Syafi‘i, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i), menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, Ayah Syafi‘i, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah SAW. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Mencari Ilmu dan Dakwah

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulisan begitu juga tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya.
Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji(mufti kota Mekkah), dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah (ahli hadits Mekkah), Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain.
Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al- Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya.
Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179 H. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Keutamaan dan Karamah

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan.
Satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah.
Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus.
Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyasyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasyasyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka.
Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan (ahli fiqih Irak), beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidak-benaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun Ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal.
Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhabAsh-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-Habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198 H, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al- Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh( yang selama ini dipegangnya), di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan keterbatasan.

Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka. Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Hasil Karya dan Karangan-Karangannya

Beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an- Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.


Tausiyah dan Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah Wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidak-sukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka.
Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.”
Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya Imam Syafi’i

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”

Sumber:
1. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-
Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql
2. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
3. Siyar A‘lam an-Nubala’

3/19/2009

HABIB SYEKH BIN AHMAD BAFAQIH SURABAYA


Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih
Kelahiran

Habib Syekh dilahirkan di kota Syihr pada tahun 1212 H anak dari Habib Ahmad Bafaqih dan silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad Rasululloh SAW

Dakwah

Setelah beberapa lama memperdalam pengetahuannya disana-sini, pada tahun 1250 H, Habib Syekh mulai berani mengambil langkah dakwah menyebarkan ilmunya. Ia sempat menjelajahi beberapa kota di Nusantara, sebelum akhirnya memutuskan berlabuh dikota Surabaya.

Di Surabaya inilah, mulai memancarkan cahaya pengetahuannya. Ia mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para penuntut ilmu sekitar. Mulai dari Fiqih, Tauhid, Tasawuf dan lainnya. Hingga akhirnya, ditengah hingar bingar dakwahnya itu, ia diangkat oleh Allah SWT menjadi salah satu walinya. Semenjak itu pula, ia sering terhanyut alam Rabbaniyah, dan karamah-karamah ynag luar biasa senantiasa mengisi kesehariannya.

Sebagaimana seorang sufi, Habib Syekh Bafaqih memiliki kepekaan yang tinggi akan syair-syair sufistik. Ia begitu mudah terbawa terbang oleh syair-syair gubahan para tokoh sufi. Apalagi bila menyenandungkan syair itu adalah adiknya sendiri, Sayid Muhammad Bafaqih yang bersuara emas, bisa-bisa ia mabuk kepayang semalaman.

Dakwah Habib Syekh ditanah jawa amatlah sukses. Ia berhasil mengislamkan banyak orang. Selain itu, ia juga berhasil mencetak beberapa ulama. Walhasil, ilmunya benar-benar menyinari belantara jawa yang masih awan kala itu.

Karomah dan Keutamaan

Pada suatu ketika tibalah Habib Syekh di kediaman salah satu pecintanya. Ini bukan kunjungan biasa, akan tetapi kunjungan sarat hikmah. Pasalnya, begitu ketemu shahibul bait, Sang Wali menggelontorkan permintaan yang agak ganjil.”Aku menginginkan dua lembar permadani ini.” titahnya.
Sang pecinta terkesiap. Bagaimana tidak, yang diminta junjungannya itu adalah permadani buatan Eropa yang super mahal. Barang itu baru saja dibelinya. Ia amat menyayangi permadani itu hingga ditempatkannya di tempat khusus.
“Bagini saja. Anda boleh minta apa saja, asal jangan permadani ini.” Pinta si pecinta. “Tidak. Aku tidak menginginkan lainnya.” Sang Wali bergeming. Negosiasi alot. Dan akhirnya hati pecinta setengah mencair. ”Baiklah, kalau begitu Anda boleh mengambil satu lembar saja.”
Setelah mendapatkan permintaannya itu, Sang Wali segera beranjak. Sang pecinta adalah seorang saudagar kaya raya. Sewaktu disambangi Sang Wali, Dua armada kapal dagangannya tengah berlayar di lautan dengan membawa muatan yang banyak. Sayang nahas mendera, dua armadanya itu koyak akibat terjangan gelombang. Salah satunya terhempas lalu tenggelam. Sementara satunya lagi selamat dan berhasil mendarat.
Hati saudagar sedikit lega. Syukur, tidak kedua-duanya tenggelam. Ia memeriksa kapalnya yang selamat itu dengan seksama. Dan, terpampanglah pemandangan ajaib dihadapannya. Ya, selembar permadani yang dihadiahkan kepada Sang Wali telah menambal rapat-rapat bagian yang koyak pada perahunya. Ia terpekur, menyesali perlakuannya pada Sang Wali. “Mengapa tidak kuberikan kedua-duanya saja waktu itu.” gerutu hatinya.
Kisah masyhur diatas dihikayatkan oleh Habib Abdul Bari bin Syekh Al-Aydrus,dan dicantumkan dalam manuskrip Tajul A’ras, torehan pena Habib Ali bin Husein Al-Attas.

Suatu malam, Habib Abdullah Al-Haddad, seoarang wali yang dulu dikenal royal menjamu tamu, menyuruh seorang sayid bernama Abdullah bin Umar Al-Hinduan berziarah kepusara Habib Syekh Bafaqih. “Hai Abdullah, pergilah kamu kepusara Habib Syekh sekarang, dan katakan pada beliau,” Abdullah Al-Haddad saat ini butuh uang dua ribu rupiah. Tolong, Berilah ia uang besok !” perintahnya.

Sayid Abdullah segera berangkat. Sesampainya dipusara Habib Syekh, ia membaca ayat-ayat suci dan doa-doa. Kemudian ia membisikkan ke makam kalimat yang dipesankan Habib Abdullah.

Selang dua hari kemudian, Sayid Abdullah berjumpa lagi dengan Habib Abdullah. Wali yang sangat dermawan itu nampak berbunga-bunga. ”Lihat uang ini. Aku terima dari Habib Syekh .” Selorohnya sembari menunjukkan segepok uang pada Abdullah Al Haddad Maklum, dua ribu rupiah uang dulu, sama nilainya dengan dua belas juta ripiah uang sekarang.

Sang Wali yang berkaromah luar biasa itu, tidak lain tidak bukan, adalah Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, ulama besar yang pusarannya ada didaerah Boto Putih, Surabaya. Dekat masjid Sunan Ampel. Karena itu, masyarakat lebih mengenal beliau sebagai Habib Syekh Boto Putih.

Di masanya, keulamaaan Habib Syekh sulit tertandingi. Pengetahuannya dalam Fiqih, Lughah, Tauhid dan lainnya sangat dalam. Sehingga sewaktu tinggal di Surabaya, beliau menjadi oase yang mengobati dahaga orang-orang yang haus ilmu di ranah Jawa.

Pencapaian luar biasa itu tidaklah didapatkan Habib Syekh dengan mudah dan gampang. Sebab ilmu takkan pernah ditumpahkan dari langit begitu saja. Sejak usia belia, beliau sudah bekerja keras menggali ilmu. Mula-mula ia mempelajari Al-Qur’an dan beberapa bidang pengetahuan syari’at dan tasawuf kepada ayahandanya sendiri, Habib Ahmad bin Abdullah Bafaqih. Kebetulan, Sang Ayah sendiri adalah ulama yang sudah kesohor ketinggian ilmunya.

Ia kemudian mengembangkan diri dengan belajar pada ulama-ulama yang ada di kotanya, Syihr. Pada fase ini, jiwa ilmuannya sedang mekar-mekarnya. Semakin lama hatinya semakin merasakan kehausan tak terkira untuk meneguk pengetahuan sehingga beliau dengan seizin ayahnya memutuskan berangkat ke Haramain unntuk menyelami telaga pengetahuan disana.

Selama di Mekah dan Madinah, beliau belajar kepada beberapa ulama besar, diantaranya adalah Syaikh Umar bin Abdul Karim bin Abdul Rasul At-‘Attar, Syaikh Muhammad Sholeh Ar-Rais Al-Zamzami, dan Al-Allamah Sayid Ahmad bin Alawi Jamalullail. Tak hanya sampai di situ. Ia pun menyempatkan diri tinggal di Mesir beberapa lama, untuk menimba pengetahuan dari guru-guru besar Universitas al-Azhar kala itu.

Wafatnya Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih

Beliau wafat pada tahun 1289 H di Surabaya. Diatas pusarannya dibangun kubah yang megah, sebagai perlambang kemegahan derajatnya. Sampai kini makamnya tak henti-hentinya diziarahi kaum muslimin, untuk bertawasul dengan mengharapkan barokah. Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin

SAYYID SULAIMAN MOJOAGUNG


Makam Sayid Sulaiman 

Sayyid Sulaiman Mojoagung
 
Silsilah

Siapa sebenarnya Sayyid Sulaiman silsilahnya beliau adalah keturunan Rasulullah urutan ke-27. Ibunya seorang putri Sultan Banten, yaitu Syarifah Khodijah.

Dari Jalur Ayah yaitu Sayyid Abdurrohman Basyaiban (Suami Syarifah Khodijah) silsilah sebagai Berikut. :
1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW
2. Sayyidatina Fatimah As Zahroh, RA
3. Sayyidina Husein bin Ali
4. Sayyidina Ali Zainal Abidin
5. Sayyidina Muhammad Baqir
6. Sayyidina Ja’far Shodiq
7. Sayyidina Ali Al Uraidhi
8. Sayyidina Muhammad Naqib
9. Sayyidina Isa
10. Sayyidina Ahmad Muhajir
11. Sayyidina Ubaidillah
12. Sayyidina Alwi
13. Sayyidina Muhammad
14. Sayyidina Alwi
15. Sayyidina Ali Kholi’ Qosam
16. Sayyidina Muhammad Shahib Mirbath
17. Sayyidina Alwi
18. Faqih Muqaddam Muhammad
19. Sayyidina Ali
20. Sayyidina Hasan At- Taroni
21. Sayyidina Muhammad Asya’dulloh
22. Sayyidina Abu Bakar Basyaiban
23. Sayyidina Ahmad
24. Sayyidina Muhammad
25. Sayyidina Umar
26. Sayyidina Abdurrahman Basyaiban
27. Sayyid Sulaiman, Mojoagung, Jombang

Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman.

Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Sayyid Sulaiman, pemuda yang disebut di awal tulisan ini. Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah.

Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah Sayyid keturunan Rasulullah SAW, bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga Habib keturunan Sayyid Abu Bakar Basyaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti. Sayyid Abu Bakar mendapat julukan Basyaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayyid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayyid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).

Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayyid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayyid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.

Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayyid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin ( -1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah SAW. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Dari pasangan dua keturunan Rasulullah SAW ini, lahir tiga orang putra: 1.Sayyid Sulaiman,2. Sayyid Arifuddin [menurut KH Jamaluddin Ahmad Tambak Beras Jombang] disebut juga Abdur Rohim (dikenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro, Segoropuro Pasuruan serta Sayyid Abdul Karim.

Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayyid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayyid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.

Dari Pekalongan Sayyid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayyid. Maka diundanglah Sayyid ke keraton.

Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayyid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayyid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.

“Sulaiman, anda orang sakti. Kalo anda benar-benar sakti , saya minta tolong  buatkan hiburan yang tidak umum, belum pernah orang membuat hiburan seperti itu,” pinta Raja Mataram kepada Sayyid dengan nada menghina.

Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayyid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayyid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayyid demikian lama, namun Sayyid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayyid Sulaiman.

Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayyid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayyid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram.

Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.

Santri Pesantren di Ampel Surabaya

Setelah meninggalkan Solo, Sayyid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri (berguru agama) di Pesantren Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Kabar keberadaan Sayyid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayyid Arifuddin (Abdurrahim), adik kandung Sayyid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.

Pada suatu malam, saat murid-murid di Pesantren Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Ustad di Peseantren Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu.

Usai salat Subuh, Ustad bertanya kepada para santrinya, “Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?” Sayid Sulaiman dan Sayyid Arifuddin mengacungkan tangan, Lalu, Ustadnya berkata, “Mulai sekarang, santriku jangan panggil Sulaiman, jangan panggil Arif aja, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Arifuddin”. Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan beliau.

Riwayat belajarnya Sayyid Sulaiman ini masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayyid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayyid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan Ampel.

Kemungkinan besar, Sayyid Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau.

Keramat di Pasuruan

Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Sayyid Sholeh Semendi di Segoropuro. Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.

Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayyid Sulaiman dan Sayyid Arif, “Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh. Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.

Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayyid Sulaiman dan Sayyid Arif turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayyid Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih total.

Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayyid Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti semula. Subhanallah, dengan izin Allah SWT, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayyid Sulaiman dan Sayyid Arif. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayyid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.

Setelah ‘mondok di Mbah Sholeh, Sayyid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.

Berita tentang kesaktian Sayyid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayyid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.

Diadakanlah sayembara : Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.

Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayyid Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah SWT, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.

Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayyid Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayyid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.

Tak lama kemudian, Sayyid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Sayyid Arif mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman.

Mbah Arifuddin tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayyid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.

Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayyid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam. Dan juga mempunyai putra yang bernama Mbah Umar.

Kembali ke Cirebon

Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.

Melihat hal ini, Sayyid Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning.

Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, Belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayyid Sulaiman sendiri.

Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu.

Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan tiang bagian dalam.

Pergi ke Keraton Mataram

Kabar kekeramatan Mbah Sayyid Sulaiman di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayyid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayyid Sulaiman bermaksud memenuhi panggilan ini.

Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayyid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayyid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.

Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Nak , kamu lupa tidak makan kacang ini, Ayo kamu makan satu satu !” perintah Mbah Sulaiman.

“Oh, iya Mbah),” jawab mereka serempak.

Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak. “Kalau muridnya seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.

Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayyid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.

Turunkan Pewaris Perjuangannya

Hasil jerih payah Mbah Sayyid dalam segala usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum Muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbain Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhona Cholil Bangkalan.

Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayyid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran Sepanjang Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayyid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan.

Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayyid yang masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda.

Melalui jalur Sayyid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya.

Sampai kini, makam Sayyid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayiyd Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo.

Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda. Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim di Hadramaut, kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.

Sayyid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayyid Sulaiman. Mereka adalah Sayyid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan), Sayyid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan), Sayyid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya), Sayyid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya), Sayyid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura), dan Sayyid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).

Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayyid Sulaiman yang memangku pesantren seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri. Sedangkan keturunan Mbah Sayyid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayyid Sulaiman. Sayyid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon.

Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayyid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di antaranya kiai Ahmad, Lebak Pasuruan.
Dari istrinya yang ketiga di Malang, beliau mempunyai putra Sayyid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi. Dan menurut riwayat lain Sayyid Sulaiman juga mempunyai putra yang bernama Sayyid Umar.

Pembabat Sidogiri

Konon, Mbah Sayyid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayyid Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai Aminullah.

Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712.

Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup Sayyid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan di muka, beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayyid Sulaiman keburu meninggal. Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri 255 tahun pada tahun 2000 adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.

Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayyid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di Sidogiri. Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayyid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayyid Sulaiman.

Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istikamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan sampai empat tahun.

Diketahui kemudian, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayyid Abdullah adalah putra Sayyid Sulaiman, bukan cucu Sayyid Sulaiman dari Sayyid Ali Akbar.


Makam Sayyid Sulaiman di Dusun Rejo Slamet, Desa Mancilan, Kecamatan Mojoagung, Jombang semakin ramai dipadati pengunjung. Mereka tidak hanya dari wilayah sekitar seperti Kediri, Blitar, Madiun, Trenggalek, Pasuruan hingga Banyuwangi, juga dari luar Jawa Timur seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahkan Sulawesi dan daerah-daerah lain.


Kompleks makam yang luasnya sekitar dua hektare itu sebenarnya terletak persis di perbatasan antara Dusun Rejo Slamet dan Desa Betek. Tetapi karena sudah kadung kesohor makam tersebut terletak di Desa Betek, para pengunjung pun hingga saat ini menyebut makam Sayyid Sulaiman tersebut di Desa Betek. Padahal, makam tersebut ada di Dusun Rejo Slamet, tepatnya Desa Mancilan. Bahkan, ada cerita sebelum makam Sayyid ini dikenal banyak orang, Dusun Rejo Slamet bernama Dusun Kuburan (Makam).

“Ceritanya Dusun Rejo Slamet dulu adalah Dusun Kuburan (makam) sehingga ketika orang mau ke Rejo Slamet pasti mengatakan mau ke kuburan atau ke makam, mungkin orang-orang dulu merasa nama itu tidak enak lalu diganti dengan nama Rejo Slamet, tetapi memang sejak dulu banyak orang yang berziarah ke makam itu,” kata Tajul Arifin, tokoh masyarakat desa setempat.

Wafatnya Sayyid Sulaiman

Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayyid Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Mbatek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana.

Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Woksuru.

Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayyid ke arah selatan, menuju Desa Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.

Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Mbatek Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif, Mbah Sayyid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah SWT. Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung. Beliau wafat pada 17 Rabiul Awal 1193 H atau 24 Maret 1780 M pada hari Jumat legi.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin

3/15/2009

SHEIKH ABDUL QODIR JAILANI RA Bagian III

Sheikh Abdul Qodir r.a
Bagian III

Kelahiran

Asy Sheikh Abdul Qodir r.a dilahirkan di Jilan di kota terpencil pelosok Tabaristan pada tahun 471 masehi. Dimasa bayinya beliau tidak mau menyusu di waktu siang bulan Romadhon, sebagai pemeliharaan Allah SWT atasnya. Beliau adalah Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir bin Abu Saleh Jank Dausat bin Abi Abdillah bi Yahya Az Zahid bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdulah Al-Mahd bin Hasan Al Mutsanna Ibnul Hasan As Sibth bin Ali bin Abi Tholib suami Siti Fatimah Binti Muhammad Rasululloh SAW

Tausiyah III

Diriwayatkan ketika sang Syaikh bangkit dari majlisnya dan mendapati mereka yang tidak beriman dan tidak bertobat beliau berkata, “Hai Fulan, kami menyerumu dan engkau tidak menjawab, kami telah melarangmu namun engkau tidak peduli, kami telah mendorongmu namun engkau tidak bergeming, kami telah tampar engkau namun engkau tidak merasa malu, telah kami singkapkan kepadamu bahwa engkau mengetahui dan kami memperhatikanmu. Bulan berganti tahun kami biarkan engkau dan kefajiranmu yang makin bertambah. Wahai Fulan jika engkau telah mengingkari janji dan sumpah dan kembali kepada kekafiran setelah engkau berjanji kepada kami tidak akan kembali dan setelah kami peringatkan engkau untuk berjalan lurus, dan engkau mengetahui bahwa perlindungan kami terhadapmu tidak abadi, bagaimana dirimu jika kami menolak, mengusir dan tidak menginginkan dirimu serta tidak lagi memperingatkanmu dan menerima pertobatanmu”.
“Bukankah engkau mengetahui bahwa engkau datang ke pintu kami dengan penuh rasa rendah diri dan berdiri di depan pintu kami dengan kepala tertunduk, mengapa sekarang engkau berpaling dari kami. Betapa ajaibnya orang yang menyatakan cinta kepada kami namun tidak memberikan seluruhnya, betapa ajaibnya orang yang mendapatkan cinta dari kami atau air minum dari keakraban kami namun keluar dari golongan kami. Hai fulan, jika engkau orang yang benar maka engkau akan setuju dengan kami, jika engkau memang seorang sahabat maka engkau tidak akan berpaling. Jika engkau termasuk mereka yang mencintai kami, engkau tidak akan melukai pintu kami dan merasa senang dengan penderitaan kami. Hai fulan andai saja engkau tidak diciptakan. Dan kalaupun engkau diciptakan, andai saja engkau mengetahui mengapa engkau diciptakan hai orang yang tidur, bangunlah buka matamu dan lihatlah ke depan bala tentara azab telah mendatangimu dan kalau bukan karena keMaha Kelembutan Allah niscaya azab tersebut benar-benar telah di timbulkan kepadamu. Wahai yang pergi, yang beralih dan yang tergelincir perbaikilah jalanmu. Engkau berjalan seribu tahun untuk mendengarkan sebuah kalimat dariku wahai saudaraku, jangan engkau tertipu dengan panjangnya umur, kekayaan dan jabatan karena diantara pergantian siang dan malam terdapat berbagai hal ajaib dan peristiwa aneh. Berapa banyak orang sepertimu yang dihancurkan dunia sebelum ini. Berhati-hatilah engkau karena ia (dunia) telah menghunus pedangnya untuk menghabisimu. Semua itu pengkhianatan dan apabila ada kesempatan maka ia akan mempermalukanmu. Berapa banyak orang sepertimu yang dicengkeram dengan cakarnya yang bersinar, di luaskan dunia untuknya sehingga setiap perintahnya diikuti, sumpahnya didengar dan keinginan dan hawa nafsunya diikuti. Baru setelah itu diberikan kepadanya sebuah cangkir berisi racun yang memabukkan, tidak ada yang dirasakannya kecuali kehancuran. Dia akan menangis darah karena simpanan amalnya musnah”.
Syaikh Abdul Qadir berkata tentang amal shaleh, “Barang siapa yang mengerjakan sesuatu untuk Tuannya dengan kesungguhan, kemurnian jiwa dan ketaqwaan maka dia akan mengacuhkan selain Dia. Hai orang-orang, berhati-hatilah kalian untuk meminta apa yang tidak pantas untuk kalian. Bertauhid-lah kalian dan jangan menyekutukan Allah. Berhati-hatilah kalian terkena panah taqdir yang mematikan kalian, bukan hanya melukai. Barang siapa yang berpaling karena Allah maka Allah akan menjaga di belakangmu”.
“Saudara sekalian, ketahuilah bahwa kalian belum dikatakan mengalir bersama taqdir kecuali apabila kalian telah menerima kehancuran. Dan sesungguhnya Dia tidak hanya memilih hati tapi juga nafs-nya. Dan menjadikannya seperti anjing ashabul kahfi yang duduk mengawasi di muka gua. Kemudian Dia memanggil, “hai jiwa tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. Saat itulah hati masuk ke hadirat Allah dan menjadi ka’bah untuk pandangan Allah. Dia sibakkan keagungan kerajaannya, Dia keluarkan semua gelar lalu menyerahkan dan mewariskan semua itu kepada hati tersebut. Saat itu sang hati akan mendengarkan sebuah seruan dari sang Maha Tinggi “Hai hambaku, semua hambaku. Engkau milikku dan Aku milikmu”. Jika persahabatan tersebut berlangsung lama maka ia akan menjadi kasur bagi sang Raja, manjadi khalifah atas rakyatnya dan bendahara rahasia-Nya. Ia akan mengutusnya ke laut untuk menyelamatkan yang tenggelam dan mengutusnya ke darat untuk memberikan petunjuk pada siapa saja yang tersesat. Apabila dia melewati mayat, ia akan menghidupkannya. Apabila ia melewati seseorang pendosa, ia akan mengingatkannya (akan dosa yang telah diperbuatnya). Atau melewati seorang yang jauh maka ia akan mendekatkannya, atau apabila ia melewati seseorang yang rindu (kepada Allah) maka dia akan membahagiakannya. Seorang wali adalah pelayan Sang Badal. Dan seseorang Abdal adalah pelayan para Nabi. Dan para Nabi adalah pelayan para Rasul SAW. Seorang wali teman baik para Raja yang selalu menemani sang Raja yang menjadi teman tidur bagi sang Raja di malam hari dan selalu berada di dekatNya di siang hari. Anakku, jangan engkau ceritakan apa yang engkau lihat kepada saudara-saudaramu ‘”.

Kisah – Kisah Teladan

Al-Hafidz Abu Zar’ah Dzahir bin Dzahir AL Maqdisy ad-Daari berkisah, “Aku pernah menghadiri majlis Syaikh Abdul Qadir dan beliau berkata, “Perkataanku ini ditujukan kepada orang-orang yang datang dari balik gunung Qaf. Mereka yang kakinya menapak di udara dan hati mereka di hadapan Al-Quds. Belitan sorban dan tutup kepala mereka seakan akan terbakar karena rasa rindu kepada Tuhan mereka”. Pada saat itu putra beliau Syaikh Abdur Razaq juga dalam majlis tersebut dan duduk di depan kaki ayahnya. Kamudian beliau menegadahkan kepalanya ke langit. Beberapa saat kemudian beliau menekurkan kepalanya (pingsan_ dan sorban yang dijadikan penutup kepalanya terbakar. Sang Syaikh turun dari kursinya dan memadamkan api tersebut seraya berkata, “Dan engkau Abdur Razaq adalah salah seorang dari mereka”. Setelah itu aku bertanya kepada Syaikh Abdur Razaq tentang apa yang menyebabkan ia pingsan, beliau mengatakan, “ketika aku menengadah menatap ke udara, aku melihat orang-orang dengan api di pakaian mereka memenuhi ufuk dan sedang mendengarkan beliau. Di antara mereka ada yang duduk di udara sebagian yang lain duduk di tanah mendengarkan beliau dan yang lain terbang menyambar-nyambar di tempatnya”.
Abu Bakar Al-Kaimi dalam kitabnya meriwayatkan bahwa Syaikh Abu Bakar Al-Amri Ad-Daqaq bercerita, “Mulanya aku adalah seorang kusir unta untuk rute Makkah. Suatu ketika aku mengantarkan seseorang dari Jailan untuk menunaikan ibadah haji. Saat merasa ajalnya sudah dekat, ia berkata kepadaku, ‘ambilah jubah ini, di dalamnya ada 10 dinar. Ambil juga baju ini dan serahkanlah kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli. Mohon kepadanya untuk memohonkan rahmat kepadaku.’ Setelah itu ia meninggal dunia.
Setibanya di Baghdad, muncul niat jahat dalam hatiku, untuk menguasai semua yang diamanahkan kepadaku. Sebab, selain Allah tidak ada yang mengetahui antara aku dan orang dari Jailan tersebut.
Selama beberapa saat setelah itu aku hanya berjalan – jalan di kota Baghdad, hingga pada suatu hari aku bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir. Aku segera mengucapkan salam dan menjabat tangan beliau. Beliau memegang tanganku dengan keras seraya berkata, “Orang miskin, hanya karena 10 dinar engkau khianati Allah dan amanah yang diberikan orang asing tersebut kepadamu dan merampokku”. Seketika aku jatuh pingsan. Dan ketika sadar, sang syaikh sudah berlalu dariku. Aku segera pulang dan mengambil emas serta baju tersebut dan kemudian pergi menemui sang Syaikh.”
Syaikh Abu Umar dan Utsman berkata, “Dalam mimpi aku melihat air sungai Isa berubah menjadi darah dan nanah. Air darah tersebut terus meninggi dan aku lari menghindar darinya. Sesampainya di rumahku, seseorang melemparkan kipas seraya berkata kepadaku, “Pegang yang kuat”. “Alat ini tidak akan kuat menahan berat badanku” jawabku. Orang itu berkata, “Imanmu yang akan menanggung berat badanmu, sekarang pegang kedua sisinya.” Ketika aku memegang kedua sisinya, aku mendapati diriku berada di atas ranjang bersama beliau. “Demi Allah siapakah anda ?” tanyaku. Beliau menjawab, ‘Aku adalah Nabimu SAW’. Kharismanya membuatku gemetar.
Kemudian aku memohon kepada beliau, “ Ya Rasulallah, doakan saya agar meninggal dalam kitab dan sunah”. “Ya” jawab Rasulullah. Kemudian beliau berkata, “Dan syaikh-mu adalah Syaikh Abdul Qadir”. Dua kali setelah itu aku ucapkan permintaan yang sama dan dua kali pula beliau menjawab dengan jawaban yang sama. Setelah itu aku bangun dan menceritakan apa yang aku lihat kepada ayahku.
Ayahku kemudian membawaku kepada Syaikh Abdul Qadir, sesampai kami di ribath, beliau sedang berceramah. Dan karena banyaknya orang kami hanya dapat duduk di barisan terakhir, jauh dari beliau. Tiba-tiba beliau berhenti dan memanggil kami. Kamipun mendekat kepada Beliau, membelah kerumunan orang hingga sampai ke kursi Beliau. Beliau berkata, “Saudara, engkau tidak akan mendatangi kami tanpa alasan”. Lalu beliau memasangkan baju dan kopiah yang beliau pakai kepadaku.
Karena baju yang beliau pasangkan kepadaku kebesaran, ayahku ingin membetulkannya. Saat itu beliau berkata, “bersabarlah sampai semua orang pergi”. Setelah semuanya bubar, dan sang Syaikh turun dari kursinya, ayahku kembali ingin membetulkan bajuku namun ayahku mendapati baju tersebut telah pas terpasang di tubuhku. Ayahku pingsan seketika dan hal tersebut menarik perhatian orang banyak. “Bawa dia kemari” Perintah sang Syaikh.
Kamipun menghadap Syaikh Abdul Qadir yang sedang berada di kubah para wali. Dinamakan demikian karena banyaknya para wali dan rijal-al ghaib- yang datang ke kubah tersebut. Beliau kemudian berkata kepada ayahku, “Bagaimana orang yang dalilnya Rasulullah SAW dan Syaikhnya Syaikh Abdul Qadir tidak memiliki karamah. “Sekarang karamah ini untukmu”. Beliau lalu mengambil kertas dan menuliskan bahwa beliau telah memakaikan jubah sufi (bai’at) kepada kami.
Abu Ridho salah seorang pelayan sang Syaikh bercerita, “Syaikh Abdul Qadir melakukan tiga kontemplasi (khalwat). Ketika keluar dari kontemplasi yang ke tiga, aku bertanya kepada beliau tentang apa yang beliau lihat dalam kontemplasinya. Beliau memandangku dengan marah lalu melantunkan sebuah syair :
Ditampakkan kepadaku Sang Kekasih tanpa hijab
Dan akupun menyaksikan berbagai hal lainnya yang tampak karena perintah-Nya
Sinar wajah-Nya menyinari segenap ufuk
Kharisma-Nya membuat aku segan menjawab-Nya dengan cintaku
Maka aku panggil Dia dengan berbisik untuk mengagungkan hal-Nya
Dan karena takut salah, tidak pernah aku meminta untuk melihat-Nya
Kupanggil Dia dengan penuh kesungguhan
Untuk menghidupkan hati yang mati
Dilekatkan kepadaku, siapa engkau dan apa maksudmu
Maknamu ada di mataku dan pikiranmu ada di dalam kalbuku
Akupun pingsan. Setelah sadar beliau memelukku dan berkata, “Jika diizinkan aku akan berbicara tentang berbagai keajaiban akan tetapi lidah dan hatiku kelu serta beku, tak dapat menggambarkannya”.
Syarif Al-Baghdadi berkata, Di sebelah rumah Syaikh Abdul Qadir terdapat seorang pria bernama Abdullah bin Nuqtah yang sedang bermain judi. Karena dia menderita kekalahan besar, semua yang dimilikinya berpindah tangan. Kemudian ia berkata, “Teruskan permainan, aku pasang tanganku” dan dia masih kalah pula. “Ulurkan tanganmu” kata lawan-lawannya. Ketika ia melihat pisau yang akan digunakan untuk memotong tangannya, dia menolak untuk melakukannya. Mereka berkata, “kalau begitu katakan !“ aku kalah”. Dia juga menolak permintaan tersebut.
Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir Datang ke rumahnya dan berkata, “Abdullah, ambil sajadah ini dan jangan katakan kepada mereka “aku kalah”. Kemudian beliau kembali kepada murid-muridnya dengan air mata berlinang. Saat para murid berkata kepadanya, beliau hanya berkata “Kalian akan melihatnya nanti”.
Si Abdullah mengambil sajadah tersebut kemudian kembali bermain dan akhirnya mendapatkan semua yang tadi diambil darinya. Setelah itu ia menghadap Syaikh Abdul Qadir dan bertaubat di hadapan beliau. Dia juga menyerahkan seluruh hartanya. Dia adalah yang Syaikh Abdul Qadir dikatakan, “Ibnu Nuqtah datang setelah semuanya datang dan paling cepat sampai”. Beliau adalah salah seorang khawash sang Syaikh.
Syaikh Abu Muhammad Al-Jauni berkata, “Suatu ketika aku menghadap Syaikh Abdul Qadir dalam keadaan miskin. Dan keluargaku sudah tiga hari tidak makan. Aku masuk dan mengucapkan salam untuk beliau, beliau membalas salamku dan berkata, “Jauni, lapar adalah salah satu harta dari sang Al-Haq yang tidak akan diberikanNya kecuali kepada yang Ia cintai. Apabila seorang hamba sudah tiga hari tidak makan, Dia akan berfirman, ‘Demi Aku engkau telah bersabar. Demi keagunganKu, akan Aku suapi engkau sesuap demi sesuap dan akan Aku minumkan engkau seteguk demi seteguk’. Saat aku hendak berbicara, beliau memberikan isyarat kepadaku untuk diam, dan kemudian berkata, “Apabila seorang hamba ditimpakan bencana oleh Allah kemudian ia tidak menceritakan kesusahannya kepada orang lain, maka ia akan mendapatkan dua pahala. Akan tetapi jika ia menceritakannya kepada orang lain, maka ia akan mendapatkan satu pahala.” Setelah itu beliau memintaku untuk mendekat dan memberikan sesuatu secara sembunyi-sembunyi, baru aku berniat untuk berbicara, beliau berkata, “Diam dan tidak menceritakan lebih utama dan lebih baik daripada kemiskinan’”.

Wafatnya Sheikh Abdul Qodir Jailani

Pada usia genap 91 tahun masehi beliau wafat tepatnya pada tanggal 11 Rabiul Akhir tahun 561 Hijriyah. Beliau dimakamkan di Baghdad dan maqam (kubur)nya banyak diziarahi orang-orang dari berbagai pelosok negeri. Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin

SHEIKH ABDUL QODIR JAILANI RA Bagian II

Sheikh Abdul Qodir r.a
Kelahiran

Asy Sheikh Abdul Qodir r.a dilahirkan di Jilan di kota terpencil pelosok Tabaristan pada tahun 471 masehi. Dimasa bayinya beliau tidak mau menyusu di waktu siang bulan Romadhon, sebagai pemeliharaan Allah SWT atasnya. Beliau adalah Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir bin Abu Saleh Jank Dausat bin Abi Abdillah bi Yahya Az Zahid bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdulah Al-Mahd bin Hasan Al Mutsanna Ibnul Hasan As Sibth bin Ali bin Abi Tholib suami Siti Fatimah Binti Muhammad Rasululloh SAW
Tausiyah II

Berkenaan dengan manusia, Syaikh Abdul Qadir berkata, “betapa menakjubkan manusia, dan betapa indah hikmah Sang Pencipta. Jika saja ia tidak mengikuti hawa nafsunya maka ia akan memerintah dengan akal. Jika bukan karena kerumitan karakternya maka ia akan dibanjiri berbagai makna. Dia adalah peti besi tempat menyimpan berbagai rahasia kegaiban, dia juga merupakan wadah cahaya sekaligus kegelapan yang menakutkan. Dia yang roh di dalamnya ditabiri dengan bentuk dari berbagai sumber ajaib yang keindahan dalam setiap unsurnya ditampakkan di depan malaikat”.
Firman Allah Ta’ala, “Telah Kami muliakan anak cucu Adam (dalam majelis tersebut) .. dan Kami istimewakan mereka (dengan akal)”.
Ini merupakan isyarat bahwa manusia berasal dari Allah, Sang Maha Mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi. Setiap karang Ilahi yang berada di atas perahu Al-Ilm membawa mutiara arwah dari lautan hakikat untuk menyempurnakan pancaran Nuur AL-Yaqin. Kapal tersebut berlayar dengan tiupan angin roh ke medan pertarungan. Sang Sultan (akal) yang terdapat di dalamnya bangkit, saling berhadapan dan saling serang dengan sultan Hawa di medan dadanya. Pada saat itu nafsu merupakan tentara khusus bagi sultan hawa dan roh adalah tentara elit Sultan akal. Kemudian terdengarlah teriakan, “Wahai kuda Allah berlarilah dan bala tentara Allah munculah, serta majulah kemari wahai sultan hawa.” Semua menginginkan kemenangan partainya dan semua menginginkan kekalahan lawannya”.
Pada saat itu taufiq (pandangan baik Allah) dengan Mata pengawasan-Nya terhadap para wali- berkata kepada kedua belah pihak atas nama Allah, “Barang siapa yang aku dukung, maka kemenangan baginya. Dan barang siapa yang aku tolong, maka kebahagiaan di dunia dan akhirat baginya. Kemudian aku tidak akan berpisah dengan siapapun yang aku dampingi sampai ia duduk di kursi Ash-Shidq “.
Saudaraku, ikuti akalmu maka ia akan membawamu mencapai ujung kebahagiaan besar. Dan jauhilah hawa dan nafsumu maka engkau akan melihat keajaiban kegaiban roh samawi dan pada saat itu fisikmu akan terbang, melayang dengan sayap inayah (pertolongan) dari sarang empuknya ke pohon “yang tinggi”. Membuat sarang di dalam AL-Qarb (kedekatan) dan mencicitkan kerinduan dan membisikkan kebahagiaan serata mengambil permata hakikat dari punggung Al-Ma’arif, meninggalkan sarang sebelumnya di kegelapan eksistensinya.
Jika engkau telah luruh dari dunia, maka yang tersisa hanyalah rahasia-rahasia hati. Saat itu apabila Dia melihat ke dalam harimu, didapatinya hatimu bak ‘arsy-Nya . kemudian Ia simpan di dalamnya realitas – realitas / hakikat semua ilmu dan Ia jadikan hati tersebut sebagai wadah pengetahuan. Saat itulah engkau akan melihat dengan hatimu keindahan azazli, menepiskan semua yang disifati dengan al-Huduts (sesuatu yang baru). Mata hatimu akan bertemu dengan orang-orang alam malakut dalam cermin kedekatan. Dengan mata bathinmu engkau akan melihat berbagai penyingkapan tentang realitas ayat-ayat (kauniyah). Dengan demikian efek dari tanda-tanda kauniyah hilang dari lembar perhatianmu.
Akal yag telah tercerahkan ini bagaikan bintang terang di kegelapan. Pikiran yang bersih merupakan indikasi pemilik pengetahuan. Dan inayah yang disebutkan tadi menyingkapkan eksistensi keyakinan yang merupakan tirai keraguanmu apabila engkau dipenuhi prasangka. Sedangkan iradah / hasrat yang disebutkan setelahnya akan memotong pikiran bathil dengan tangan Al-Haq dalam keterbatasan dalil.
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Saudara, hendaknya kalian bersungguh-sungguh dan memurnikan jiwa. Tanpa keduanya, manusia tidak akan dapat mendekatkan diri kepada-Nya.
Saudara, apabila keikhlasan dipukulkan ke dalam ruang hatimu dengan tongkat Musa, maka akan terpancar darinya sumber kearifan hikmah. Dengan sayap keikhlasan seorang arif akan terbang dari kegelapan kepada cahaya Al-quds yang luas kemudian turun di tempat yang diperuntukkan bagi As-Shidq.
Tidak akan memancar cahaya keyakinan dari dalam hati seorang hamba kecuali dipancarkan pula cahaya kewalian dari wajah lahiriyahnya, namanya diseru oleh para malaikat di alam tinggi (malakut al-a’la) dan dihari qiyamat dimasukkan ke dalam golongan ash-shiddiqiin.
Penentanganmu terhadap syahwat diri merupakan bentuk pemisahan (tajrid), bahkan pengesaan Allah. Perbuatan tersebut memancarkan sinar kerinduan-Nya ke dalam hati setiap ‘arif hingga hati tersebut tidak lagi dapat menyerap kenikmatan selain-Nya. Perbuatan tersebut pula yang terus menggelorakan hati hingga sampai ke lembah cinta-Nya. Dan jalan kepada Allah tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan tambahan kesungguhan. Kebersamaan dengan-Nya tidak akan dapat dicapai kecuali dengan menghancurkan harta dan menjauhi manusia demi akhirat. Tidak akan mencapai kondisi tersebut kecuali dengan menguasai dunia dan isinya. Sebuah pandangan-Nya kepadamu sudah cukup agar engkau meninggalkan semua yang ada. Sebuah lirikan-Nya kepadamu sudah berarti banyak agar engkau meninggalkan dunia. Wahai fulan jika hatimu telah bersih , engkau akan melaksanakan perintah Allah. Jika engkau melihat ke dalam fikiran para ‘arif, maka engkau akan menemukan cahaya Penciptanya memancar dari sirr mereka.
Ketahuilah, para wali setara dengan golongan istimewa para sulthan, orang-orang ‘arif bagaikan orang-orang kepercayaan para Raja. Dan sesudah seorang wali mengalami manisnya penyaksian, maka ia sudah berhak mengalami pahitnya kondisi budala’ (transofrmasi).
Wahai anakku, mata orang-orang istimewa tidak akan memandang dunia dan tidak akan tertipu oleh gemerlapnya. Mereka memahami firman Sang Kekasih, “Dan kehidupan dunia ini tidak lain adalah kesenangan yang menipu”.
Anakku, setan akan masuk ke dalam hati melalui berulangnya kelezatan dan akan menyeberang ke dada melalui pelampiasan syahwat kemudian ia akan mengecoh hamba dengan mengejar dunia.
Beruntunglah mereka yang sadar dari terlelapnya akal, yang menjernihkan kondisi spiritualnya dengan mengejar kedekatan dengan Tuhannya, dan dengan beradab pergi ke Sang Maha Menghitung, dan berlomba-lomba berjalan menuju akhirat serta mengintrospeksi apa yang seharusnya ditingalkan dalam dirinya. Karena sesunguhnya dunia adalah tempat persinggahan sementara, dan kiyamat semakin dekat.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir berkata :
Ketika kita yakin disingkapkan bagi kita tirai, Dan jika bukan karena perkataan jujur, Tidak akan terangkat hijab. Syaikh Abdul Wahab meriwayatkan, “suatu ketika ayahku (Syaikh Abdul Qadir) menderita sakit yang amat parah. Kami sudah berkumpul di sekelilingnya, menangis. Saat itu beliau sedang tidak sadarkan diri. Kemudian beliau sadar dan berkata, “Jangan menangis karena aku tidak akan mati karena Yahya masih ada di tulang belakangku dan aku harus mengeluarkannya ke dunia”, Waktu itu kami mengira ucapannya itu dikarenakan sakitnya. Beberapa waktu kemudian beliau sembuh dan mengawini seorang Habsyi yang kemudian melahirkan Yahya (anak bungsu beliau). Dan baru meninggal dunia lama setelah kejadian tersebut”.
“Luruhlah dari makhluk dengan hukum Allah, dari hawa nafsumu dengan perintah Allah dan dari keinginanmu dengan perbuatan Allah. Saat itu engkau telah menjadi wadah bagi ‘ilm Allah”.
Kemudian indikasi keluruhanmu dari makhluk adalah putusnya engkau dari mereka dan berhenti berharap dengan apa yang ada di tangan mereka. Sedangkan indikasi keluruhanmu dari dirimu dan hawa nafusmu adalah ketidak tergantunganmu kepada sebab dalam mendapatkan manfaat dan menolak bahaya. Semua yang ada pada dirimu tidak bergerak olehmu , tidak bersandar kepada apa yang engkau miliki dan menyerah kepada nafsumu tetapi menyerahkan semua itu kepada Allah yang lebih baik untuk mengaturnya.
Tanda keluruhanmu dari hasrat adalah hanya Allah yang engkau inginkan. Bahkan perbuatan Allah mengalir dalam dirimu saat anggota tubuhmu diam tak bergerak, rohmu tenang, dadamu lapang, dan ketidak-butuhanmu kepada segala sesuatu. Engkau dibolak-balik oleh tangan takdir, dipanggil oleh lisan Al-Azal..(keabadian), diajari oleh Tuhan sekalian alam. Dia dipakaikan kepada dirimu dari cahayaNya, dianugerahinya engkau kedudukan para ahli ilmu terdahulu. Maka engkau akan selalu lebur, tidak ada hasrat dalam dirimu kecuali kehendak (iradah) Allah. Saat itulah engkau dilekatkan kepadamu penciptaan dan ke-supranatural-an, sehingga di level lahiriah semua itu terlihat berasal dari dirimu, padahal hakikatnya (dalam pengetahuanmu) hal tersebut berasal dari perbuatan Allah. Ini adalah permulaan yang lain. Dan saat engkau menemukan iradah dalam dirimu semakin membesar, maka engkau telah mencapai kebersamaan(wushul) bersama Ilahi.
“Jadi, fana memiliki batas sekaligus tujuan, yaitu apabila yang tersisa hanya Allah seperti sebelum Ia menciptakan makhluk. Inilah kondisi keluruhan (fana’). Apabila engkau mati dari makhluk, akan dikatakan kepadamu “Rahimakumullah”, apabila engkau mati dari keinginan diri, maka akan dikatakan kepadamu “Rahimakumullah wa Ahyaa” (Semoga Allah merahmatimu dan menghidupkanmu). Ketika itulah engkau akan hidup dalam kehidupan tanpa kematian sesudahnya., kekayaan tanpa pernah miskin, pemberian tanpa pernah putus, pintar tanpa kebodohan, keamanan tanpa disusuli rasa takut, kebahagiaan tanpa kesedihan, kemuliaan tanpa kehinaan, kedekatan tanpa merasa jauh, keagungan tanpa kehinaan, kemurnian tanpa kekotoran.

Do’a – doa Sheikh Abdul Qodir Jaelani

Syaikh Abdul Wahab dan Syaikh Abd Rahman berkisah, “perkataan yang biasa beliau pergunakan dalam majlisnya adalah, ‘Alhambulillahir Robbil Aalamiin, Alhamdulullahi Rabbil Aalamiin, Alhamdulillahi Rabbil Alamiin sebanyak ciptaanNya dan seberat ‘arsyNya, seberat keridhaan diriNya, sebanyak kalamNya dan puncak pengetahuanNya dan semua yang Engkau kehendaki. Aku bersaksi bahwa tdak ada Tuhan selain Allah, pemilik kerajaan dan pemilik pujian, Yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak pernah mati. Di tanganNya segala kebajikan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tidak ada pembantu, tidak ada menteri, tidak ada penolong. Maha tunggal Dia yang tidak beranak maupun diperanakkan, tidak memiliki bentuk fisik yang dapat dipercantik, tidak ada esensi yang dapat dipercantik, tidak pula memiliki ‘ardh, sehingga ketidak sempurnaan dapat dinisbatkan kepadaNya. Dia tidak memiliki menteri dan tidak pula memiliki sekutu yang ke-Agungannya setara denganNya atau ikut ambil bagian terhadap apa yang diciptakanNya. Tidak ada yang sama denganNya dan Dia Maha Mendengar.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya, kekasihNya yang dipilihNya dari makhluk-makhlukNya, dan yang telah mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.
Ya Allah Limpahkanlah ridhoMu kepada Imam Abu Bakar Ash-Shidiq yang panjinya berkibar tinggi, yang dikokohkan dengan hakikat, ditempatkan di posisi khalifah sang Pengasih, yang berasal dari keluarga terhormat, yang namanya digandengkan dengan nama beliau SAW dan juga kepada Imam Abi Haffash Umar bin Khatab yang sedikit berkhayal banyak beramal, tidak kenal takut, yang keputusannya disetujui oleh Al-Qur’an dan Sunah. Dan kepada Imam Dzun-Nurain Abu Amru Utsman bin Affan serta kepada Pahlawan dan suami perawan suci, sepupu Rasulullah SAW, si pedang Allah yang terhunus, pendobrak pintu dan penghancur laskar, Imam dan ulama agama, hakim syar’i yang ditampakkan keajaiban darinya imam Abi Hasanain Ali bin Abi Thalib, juga kepada kedua Syahid agung Hasan dan Husain, serta kepada kedua paman yang mulia Hamzah dan Abas dan kepada para muhajir dan anshar serta para tabi’in dan tabi’i-tabi’in hingga hari qiyamat ya Tuhan Sekalian alam.
Ya Allah luruskanlah para Imam dan pemimpin rakyat, satukan kalbu mereka dalam kebaikan, jauhkan kejelekan dari mereka. Ya Allah Engkau lebih mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati kami maka luruskanlah ia. Engkau Maha Mengetahui dosa-dosa kami, maka ampunilah kami. Engkau Maha Mengetahui aib-aib kami, maka tabirilah semua itu. Engkau Maha Mengetahui kebutuhan kami, maka penuhilah semua itu. Jangan tunjukkan kami yang Engkau larang dan jangan Engkau jadikan kami lalai melaksanakan perintahMu. Muliakanlah kami dengan ketaatan kepadaMu dan jangan hinakan kami dengan kemaksiyatan. Sibukkan kami hanya untukMu. Potong semua yang memutuskan kami dariMu. Dan ilhami kami untuk selalu mengingatmu, bersyukur kapadaMu dan beribadah kepadaMu.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan wajahnya dan berkata, “Tiada Tuhan selain Allah, apa yang Ia kehendaki jadi, dan apa yang tidak Ia kehendaki tidak akan terwujud. Maha Kuasa Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuai dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Ya Allah jangan hidupkan kami dalam kelalaian dan jangan Engkau anggap ketidak sengajaan kami. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebaikan yang dilakukannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dilakukannya. (Mereka berdoa) : Ya Tuhan kami jangan Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, jangan Engkau bebankan kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, jangan Engkau pikulkan kami apa yang tidak sanggup kami pikul. Beri maafMu untuk kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.
Wafatnya Sheikh Abdul Qodir Jailani

Pada usia genap 91 tahun masehi beliau wafat tepatnya pada tanggal 11 Rabiul Akhir tahun 561 Hijriyah. Beliau dimakamkan di Baghdad dan maqam (kubur)nya banyak diziarahi orang-orang dari berbagai pelosok negeri. Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin

SHEIKH IBRAHIM AD DASUQI

SHEIKH IBRAHIM AD DASUQI

Ibrahim Dasuqi dilahirkan di Mesir tahun 623 H di desa Dasuq. Ia tumbuh besar di lingkungan jamaah ahli wara’ dan taqwa. ketika dewasa beliau tumbuh dalam suasana senang beribadah seperti Syekh Muhammad bin Harun, seorang sufi yang alim.
Dalam manuskrip Taufiqiyah ada keterangan, bahwa pada abad ketiga Hijriah di Dasuk ada tiga buah istana, pertama milik Sayid Abd Ali, yang kedua milik Imam Qashabi guru di Masjid Sayid Ahmad Badawi dan yang ketiga milik Sayid Basuni Far, semua bangunan istana ini disediakan untuk menyambut para tamu yang datang ke Dasuk sewaktu peringatan Maulid Sayid Ibrahim Dasuki disamping juga menyediakan makanan bagi fakir miskin yang ikut datang ke perayaan itu.
Di antara tokoh-tokoh terkenal dari daerah ini adalah Syekh Ibrahim Dasuki bin Abd Aziz Abu al-Majd yang nasabnya berujung ke Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ibu Syekh Ibrahim Dasuki ini adalah Fatimah binti Abdullah bin Abd Jabar, saudari sekandung tokoh sufi terkenal Sheikh Abu Hasan Syadzili. Syekh Ibrahim Dasuki ini juga masih punya silsilah satu nasab dengan Wali Qutb kota Thanta Sheikh Ahmad Badawi pada kakek kesepuluh Ja’far al-Turki bin Ali al-Hadi.
Silsilah Sheikh Ibrahim Ad Dasuqi
Arif Billah Ibrahim ad-Dasuqi bin Abd Aziz Abu al-Majd bin Quraisy bin Muhammad bin Abi an-Naja bin Zainal Abidin bin Abdul Khaliq bin Muhammad Abi at-Thaib bin Abdul Katim bin Abdul Khaliq bin Abi Qasim bin Ja`far Zaki bin Ali bin Muhammad al-Jawwad bin Ali ar-Ridha bin Musa Kazhim bin JA`far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah s.a.w.
Dari kecil beliau dikenal sangat rajin beribadah, memiliki kerajian yang tinggi mengalahi teman-temannya, timbuh dan membesar di kalangan masyarkat yang soleh, memiliki sifat – sifat terpuji yang beliau warisi dari kakeknya baginda Rasulullah s.a.w.
Beliau sangat sopan santun, pengasih, pemurah, suka menolong orang, rajin beribadah, taat terhadap orang tua, menghormati ulama dan orang-orang soleh, wara`, pendiam, pintar dan pandai.
Dari kecilnya telah mengikuti pengajian-pengajian agama, belajar membaca dan menulis, belajar berbagai disiplin ilmu agama dari ulama-ulam yang berada di kampung halamannya, menekuni fiqih Syafi`i dan mendalaminya, dan seterusnya belau mempelajari ilmu tasawuf dan memperdalaminya dengan semangat yang kuat sehingga beliau memang benar-benar berenang di lautan makrifah, menjadi tonggak besar tasawuf di Mesir dan seluruh penjuru dunia.
Beliau juga mengikuti jejak pamannya dari ibu, Sheikh Abu Hasan Syadzili pendiri Tarekat Syadziliyah. Beliau belajar ilmu bahasa dan agama juga menghafal Al Qur’an dan hadits juga ushul fiqh berdasarkan madzhab Syafii sementara ia masih kecil. Ada suatu keterangan yang mengatakan beliau mulai ber-khalwat sejak usia lima tahun. Dan sewaktu memasuki usia remaja dan semakin rajin ber-khalwat maka kemudian mulailah datang kepada beliau beberapa orang untuk belajar tariqah, di antara mereka yang ternama adalah Sayid Abu Nasr yang makamnya dikenal dengan namanya di Dasuk.
Syekh Dasuki ini selalu berada di tempat khalwat-nya sampai ayahnya meninggal, kemudian turunlah beliau dari tempatnya itu, yang saat itu beliau masih berusia 23 tahun, murid-muridnya mengharapkan supaya beliau meninggalkan tempat khalwat-nya itu, sehingga bisa konsentrasi mengajar mereka, kemudian dibuatkanlah suatu tempat di samping tempat khalwat beliau.
Tariqah beliau ini dikenal dengan nama Tariqah Burhaniyah, yang diambil dari namanya atau Tariqah Dasukiyah, diambil dari nama daerahnya. Ibrahim Dasuki dan para pengikutnya ini memakai sorban warna hijau sementara sorban yang dipakai oleh Sayid Badawi dan para pengikutnya berwarna merah, sedangkan para pengikut Tariqah Rifaiyah berwarna hitam.
Sewaktu Sultan Dzahir mendengar tentang keilmuan Ibrahim Dasuki juga banyak pengikut yang dipimpinnya, segera dia mengeluarkan maklumat yang mengangkatnya sebagai Syekh Islam, maka beliau pun menerima jabatan itu dan melaksanakan tugasnya tanpa mengambil gajinya, tapi membagikan gaji dari jabatan ini kepada pada fakir miskin dari kalangan muslimin. Sultan kemudian juga membangun sebuah tempat pertemuan untuk Syekh dan para muridnya dalam belajar memahami agama, jabatan ini tetap dipegang oleh Syekh Ibrahim sampai meninggalnya Sultan kemudian setelah sultan meninggal, beliau mengundurkan diri, meluangkan waktunya bagi para muridnya.
Syekh Dasuki ini adalah seorang yang pemberani tidak mendekat kepada penguasa dan tidak takut akan celaan orang-orang yang mencela di dalam menyebarkan agama Allah. Syekh Jalaludin Karki bercerita; bahwasannya Syekh Dasuki ini pernah berkirim surat kepada Sultan Asyraf Khalil bin Qalawun yang berisi kritikan pedas padanya, karena perbuatan dhalim yang dilakukan kepada rakyat. Maka Sultan pun murka dan memanggil Syekh, tapi Syekh Dasuki ini menolak untuk mendatangi panggilan ini dan berkata: ”Aku tetap di sini, siapa yang ingin bertemu saya, maka dialah yang harus menemuiku”. Dan Sultan pun tidak bisa berbuat banyak terhadap Syekh karena dia tahu posisinya di mata masyarakat, maka diapun datang kepadanya dan minta maaf. Dan Syekh pun menyambutnya dengan baik dan memberi kabar gembira akan kemenangannya dalam peperangan melawan tentara salib, dan memang terbuktilah kemudian kemenangan itu.
Latihan jiwa untuk menuju Allah tidak semudah mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, sebab perjalanan menuju Allah memiliki berbagai macam tantangan dan rintangan dari jiwa, masyarakat dan syaitan, cobaan tersebut datang menghalangi Sheikh Ibrahim menuju Allah, tetapi Syeikh Ibrahim berhasil menepis segala halangan dan rintangan yang mengganggunya untuk mengenal Allah dan berjalan munujunya, zikir, istighfar, salawat merupakan bagian penting menuju perjalanan yang penuh dengan rintangan.
Dengan mujahadahnya Allah memilih beliau menjadi walinya, bahkan beliau mendapat gelaran wali Qutub dari seluruh para wali, dan beliau juga diantara Qutub empat yang masyhur, Qutubul Arba`ah adalah : Sheikh Abdul Qodir Jilani, Sheikh Ahamd Ar Rifa`i, Sheikh Ahmad Badawi dan Sheikh Ibrahim Ad Dasuqi, sebagaimana diyakini ulama tasawuf seperti Syekh Mahmud al-Garbawi dalam kitabnya al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah.
Diantara Karomah beliau adalah :
Beliau dilahirkan pada malam syak, yaitu hari yang di ragukan dan menjadi teka-teki apakah sudah memasuki puasa Ramadhan atau belum. Ketika para ulama ragu akan munculnya bulan sabit yang menunjukkan masuknya bulan Ramadhan, Syekh Ibnu Harun As-shufi ketika itu berkata: "Lihatlah anak yang baru lahir ini apakah dia meminum air susu ibunya"? Maka ibunya menjawab, “Dari sejak azan subuh, ia berhenti meminum air susu ibunya". Dengan demikian Syekh Ibnu Harun mengumumkan bahwa hari itu adalah hari pertama bulan ramadhan dan tanda-tanda kewalian Syekh Ibrahim Ad-Dusuqi RA sudah nampak dari sejak kelahiran beliau.
Berkata Imam al-Munawi : Seekor buaya telah menelan seorang anak di sungai nil, maka ibu sang anak mendatangi Syeikh Ibrahim Dasuqi dengan menangis tersedu-sedu, maka Syeikh meyuruh muridnya untuk memanggil buaya yang memakan anak ibu tersebut, maka datang muridnya dan berseru di tepi sungai Nil : ” Wahai sekalian buaya , siapa diantara kalian yang memakan seorang anak maka hendaklah dia muncul dan menghadap Syeikh “. maka muncullah buaya dan berjalan beserta murid sehingga sampai kehadapan Syeikh Ibrahim Ad-Dusuqi, maka Syeikh menyuruh buaya itu untuk mengeluarkan anak itu, maka buaya itu mengeluarkan anak itu dalam keadaan hidup, kemudian Sheikh Ibrahim berkata : Matilah kamu dengan seizin Allah “, maka segara buaya itupun mati.
Salah satu karamahnya yang terkenal adalah ketika beliau meramalkan kemenangan Sultan Asyraf Khalin ibn Qalawun dalam peperangan melawan tentara salib – dan ramalan itu terbukti tepat.
Sheikh Ibrahim al-Qurasyi ad-Dusuqi adalah Wali Quthub yang keempat dan yang terahir setelah Sheikh Ahmad Arrifa’i RA, Sheikh Abdul-Qadir al-Jilani RA dan Sheikh Ahmad al-Badawi RA
Syekh Dasuki ini di samping menguasai bahasa arab juga menguasai bahasa asing lain seperti bahasa Suryaniyah dan Ibriyah, karena beliau telah menulis sejumlah buku dan risalah dalam bahasa Suryaniyah. Syekh Dasuki meninggalkan banyak kitab dalam bidang fiqih, tauhid, dan tafsir. yang paling terkenal adalah kitab yang masyhur di sebut “Al-Jawahir” atau “Al-Haqaiq”, beliau juga punya Qasidah-qasidah dan Mauidzoh-mauidzoh.
Syekh Ibrahim Addasuqi RA bermazhab Syafi’ dan terkenal dengan beberapa julukan seperti Abul Ainain, abul Aunain dan Burhanul Millati Waddin.
Sheikh Ibrahim Dasuqi meninggal dunia pada tahun 676 hijriyah dan makam beliau di kota Dusuq Mesir.
Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin
Sumber:
1.Jami` Karomati al-Auliya` : 1 / 398 , karangan Syeikh Yusuf an-Nabhani, cetakkan Darul Makrifah Bairut 1424 – 2003 .
2.Al-Khitatu Taufiqiyyah al-Jadidah : jilid 11, halaman 16, karangan Ali Basha cetakkan Hai`ah Masriyyah Ammah.
3.Thobaqatu Syazuliyyah : halaman 87, karangan Abi Ali Hasan bin Muhammad bin Qasim al-Kuhun al-Fasi al-Maghribi
4.Syekh Mahmud al-Garbawi dalam kitabnya al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah,
5.Assayyid Abul-Huda M.bin Hasan al-Khalidi Asshayyadi, kitab Farhatul-Ahbab fi Akhbar al-Arba’ah al-Ahbab